Kamis, 27 Agustus 2009

PERPINDAHAN DESA MRUWAK

BERDASARKAN PRASASTI MRWAK (1108 ŚAKA/1186 M)

Churmatin Nasoichah

Balai Arkeologi Medan

Abstract

The tragedy of war is one aspect which contained in some inscriptions. In the other side,it has a very bad effect for the people themselves, e.g. removeling a village location. That event have a direct impact to the life’s pattern which has an interconnection with the environment and their livelihood changing

Kata kunci: perang, pindah, Desa Mruwak, lahan basah

I. Pendahuluan

Banyak informasi tentang kehidupan yang dapat diungkapkan dari sebuah data arkeologi berupa prasasti, baik itu mengenai sistem pertanian, perdagangan, peradilan maupun sistem keagamaan. Beberapa aspek tersebut saling terkait satu dengan yang lain sehingga mampu menggambarkan kehidupan masa lalu. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa umumnya berisi penetapan sīma maupun keputusan peradilan (jayapatra) yang memuat informasi tentang berbagai hal seperti mengenai waktu dibuatnya prasasti, nama penguasa, nama tempat serta alasan dibuatnya prasasti. Perang merupakan satu aspek peristiwa yang termuat dalam isi prasasti dan menarik untuk dijadikan bahan kajian. Perebutan kekuasaan ataupun perebutan wilayah pada masa lalu, sering dilakukan dengan jalan peperangan/penyerangan. Penyerangan tersebut dapat dilakukan melalui jalur darat ataupun melalui jalur air (laut, pantai, sungai). Selain kemenangan atau kekalahan, perang mempunyai dampak buruk bagi masyarakat. Banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya dan harta kekayaan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah perubahan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam hal ini berkaitan dengan lingkungan dan mata pencaharian mereka.

Satu contoh prasasti yang di dalamnya memuat tentang peperangan/ penyerangan adalah Prasasti Mrwak. Prasasti Mrwak sampai saat ini masih insitu. Isi pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula. Permasalahan yang dimunculkan dalam tulisan ini adalah apakah perpindahan lokasi Desa Mruwak tersebut membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakatnya? Untuk menjawab permasalahan tersebut, selain melalui sumber prasasti juga dilengkapi dengan perbandingan dengan lokasi dan kondisi Desa Mruwak pada saat ini.

II. Mrwak, desa tua di kaki Gunung Wilis

Saat ini Mruwak merupakan desa kecil yang terletak di bagian barat kaki Gunung Wilis tepatnya di Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur. Desa Mruwak yang terletak di selatan Kota Madiun ini masih relatif sepi karena jauh dari pusat kota. Tidak jauh dari desa ini (sekitar 1 km) terdapat aliran sungai yang oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur. Sungai atau Kali Catur ini memiliki lebar 50 meter dan merupakan aliran sungai yang cukup deras. Penduduk setempat memanfaatkan sungai ini untuk irigasi sawah, menambang batu dan mencari ikan. Kondisi alam Desa Mruwak sangat subur, masih banyak hutan terutama tanaman jati serta area persawahan. Pada umumnya penduduk setempat menggunakan sawah berteras karena keletakannya di dataran tinggi.

clip_image002

Penyebutan Desa Mruwak didasarkan pada temuan prasasti yang terletak di desa tersebut, yaitu Prasasti Mrwak. Prasasti ini terletak di bagian belakang sebuah pekuburan umum di Desa Mruwak dan sampai saat ini masih insitu. Oleh beberapa penduduk, prasasti ini dipakai untuk ritual keagamaan dan dikeramatkan. Prasasti Mrwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mrwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23--24).

Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh Sirah Kĕting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun 1126 Ś (Wardhani,1982:161). Untuk lebih memfokuskan pokok bahasan maka artikel ini hanya akan membahas mengenai isi Prasasti Mrwak dan tidak akan menyinggung nama Śastraprabhu.

Adapun transkripsi dari Prasasti Mrwak adalah sebagai berikut :

Bagian Depan

  1. ……………………………………
  2. ….. (śri) ……………………………
  3. _ (sa) ńajña haji raja praśasti ma
  4. tańda rakryan ikhań asīma rama
  5. mrwak swasti saka warsatīta ri śaka
  6. 1108 phālguna dasa klapaksa mawulu ma sa wa
  7. tu(?) nairita sidhi śiŋha _ _ sasi _ uma rika di
  8. waśa rasa yajya śrī jaya prabhu dhwaja thunda _ _
  9. ………pusaka rakai rama kadi rakryan dmuŋ
  10. sri paja hajjaśya raka wamasudra prabhu ha _
  11. rakryan juru jarah sri __ sapata _ ka _ _
  12. wusanya sasańa _ ----saruran saka dhū
  13. ma ńkā(na) ­-­­­­­­­------ sa ----------……………..

Bagian Belakang

1. ka juru pańalas ( ? )………………………….na

2. _ nra ma na ……………………………………….

3. bahita raksa naruńu sa _ (b) damapaŋ………..

4. _ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _

5. _ kasĕh śira bathara sri jaya mantra saka pama

6. sah ńwara nusa śarwwenayāpala mrwań śamara sa

7. maŋkana mańan sri kanuruhan ńasa raksa tanda duka ni

8. ra swamartya mayākarma ranabhūmi juru talaŋ

9. madhawa ­krah matta thūnah ruru dsa _ _ hada rat

10. lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikra

11. ma juru manutan samanta sakara kańa sīma mr

12. wak hanananugrahan śrī maharajasa dr

13. wya yajñā sīma ma sāruńan kati śarabha

14. kakatan kaka rusa wanara paya bhuwa nala ra

15. tā kamala…………………wakā …..

16. sadī māsa º ka ---- raja _ _ _

Bagian Kiri

1. n sa ……

2. bhutāla

3. kadapa nusa

4. kań misdani(?)

5. _ rasa saśa

6. sīta dhamū

7. manawa ka

8. wya kapu

9. clip_image004nyayan kala

10. wa tā la(ra)

11. hańa _

12. masalas

13. ta…….

Bagian Kanan

1. taparasi

2. ma(?)nalas wama

3. na sāńāmi ha

4. ­ ji wipra nata

5. ra ki ra(?) sira

6. mata nyapan

7. nikań

8. sīma kań

9. karusak

10. ńajar haji

11. praśasti

12. sira mawas

13. ……kama

14. saprahara

15. srī jaya pra

16. bhu ------ka

Berdasar keterangan dalam Prasasti Mrwak, Desa Mruwak pernah mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak mendapat serangan dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti Mrwak yang berupa prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang tidak lain merupakan penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa penyerangan tersebut disebutkan dalam sambandha dan isi prasasti.

Dalam bagian sambandha, pada bagian belakang prasasti baris ke 7--11 dijelaskan bahwa:

“……..Samaŋkana mańan sri kanuruhan ńasa raksa tanda duka nira swamartya mayākarma ranabhūmi juru talaŋ madhawa ­krah matta thunah ruru dsa _ _ hada rat lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikrama juru manutan samanta sakāra kańa sīma mrwak…..”

yang diterjemahkan sebagai:

“……..demikian meraung (meratap) sri kanuruhan binasa melindungi tanda dukanya bumi memperdayakan medan pertempuran Juru talaŋ madhawa dalam jumlah besar marah bertumpuk gugur di desa _ _ (mrwak?) berdirilah dunia (daratan) dipindahkan ke arah atas sana kadāhaka tyas dengan keberanian (keteguhan hati) juru manutan seluruh berubah dengan mudah lalu sīma mrwak….”

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa di Desa Mruwak telah terjadi serangan secara tiba-tiba yang datangnya dari arah sungai dengan menggunakan kapal. Terjadilah peperangan yang menewaskan banyak orang di medan pertempuran. Dalam peperangan ini menewaskan seseorang yang bernama sri kanuruhan beserta bala tentaranya dalam jumlah yang besar. Namun tidak diketahui dari pihak (kerajaan) mana penyerangan tersebut.

Akibat dari penyerangan tersebut akhirnya Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang agak jauh dari sungai yaitu dekat dengan gunung (di kaki Gunung Wilis) dengan bantuan juru manutan. Hal ini kemungkinan dilakukan agar penduduk desa merasa aman dan untuk pertahanan. Karena telah terjadi serangan secara tiba-tiba itu maka diperintahkanlah pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk melakukan penjagaan terhadap Desa Mruwak. Wilayah penjagaannya meliputi sungai besar (Kali Catur) karena di tempat itulah serangan dari luar bisa masuk.

Sementara pada bagian isi yang dituliskan pada bagian belakang prasasti baris ke 3--6 dijelaskan bahwa :

“…bahita raksa naruńu sa _ (b)da mapaŋ………._ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _ _ kasĕh śira bathara sri jaya mantra saka pamasah ńwara nusa śarwwenayāpala mrwak śamara……”

yang diterjemahkan sebagai:

“……penjagaan kapal tendengar bunyi tiba-tiba (tidak dinantikan)……barat laut yang dinamakan matta hayu mata jala _ _ _diberikan dia tuan yang mulia Sri Jaya mantra dari pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala peperangan mrwak ……”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa isi prasasti berupa pemberian perintah kepada Pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk menjaga kapal (pertahanan) karena sebelumnya telah mendapat serangan secara tiba-tiba dari arah barat laut, sehingga terjadilah peperangan di Mrwak.

Apabila dibandingkan antara bentang alam Desa Mruwak sekarang dengan keterangan dari isi Prasasti Mrwak, ternyata tidak jauh berbeda, keletakan prasasti yang masih insitu memungkinan untuk dapat lebih mudah dalam analisis kemudian membandingkannya dengan kondisi saat ini. Dalam menganalisis sebuah prasasti banyak hal yang dapat diketahui, baik itu yang berkaitan dengan keletakan, bentangan alam, maupun faktor lain seperti jenis-jenis binatang dan tumbuhan yang ada di tempat tersebut.

Identifikasi nama tempat (toponimi) dari sumber prasasti perlu dilakukan untuk menggambarkan keletakan tempat ke dalam peta yang kita kenal pada masa ini. Hal ini dilakukan karena nama-nama tempat pada masa kerajaan kuna Indonesia sudah sangat berbeda dengan nama-nama sekarang meskipun ada sebagian yang masih tetap sama, misalnya nama Daha, ibu kota kerajaan Kadiri.

Dalam Prasasti Mrwak terdapat penyebutan nama Mrwak yang dijadikan daerah sīma oleh Śrī Jaya Prabhu. Sampai saat ini penggunaan nama Mrwak masih terus dipakai untuk menyebutkan nama Desa Mruwak, hanya penulisannya mengalami sedikit perubahan. Semula berdasarkan isi prasasti, penulisan nama ini adalah Mrwak, namun saat ini masyarakat lebih mengenal dengan nama Mruwak.

Keletakan Desa Mruwak dapat dibandingkan berdasarkan Prasasti Mrwak dengan toponimi sekarang. Seperti kita lihat pada bagian belakang prasasti baris ke 3--4 disebutkan :

“……bahita raksa naruńu sabda mapaŋ………._ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _”

diterjemahkan menjadi:

“….... kapal perlindungan terdengar bunyi yang tiba-tiba…….._ _ _ barat laut yang dinamakan matta hayu mata jala…..”

Dari keterangan di atas dapat diketahui adanya sungai besar yang terletak di baratlaut Desa Mruwak, ketika ada kapal yang datang dengan tiba-tiba. Bila kita bandingkan dengan kondisi Desa Mruwak sekarang, di sebelah barat laut sekitar 1 km dari desa Mruwak terdapat sungai besar yang oleh penduduk setempat disebut dengan Kali Catur.

Selain itu pada bagian belakang baris 9--10 disebutkan :

“……madhawa ­krah matta thūnah ruru dsa _ _ hada rat lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikrama……..”

diterjemahkan menjadi:

“……..madhawa dalam jumlah besar marah bertumpuk gugur di desa _ _ (mrwak?) berdirilah dunia (daratan) dipindahkan ke arah atas sana khadāhaka tyas dengan keberanian (keteguhan hati)…..”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa Desa Mruwak pernah dipindahkan karena telah terjadi perang. Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi di kadāhaka tyas yaitu daerah yang terletak di bagian tengah yang keras dari lembah gunung. Apabila dibandingkan dengan keletakan Desa Mruwak sekarang, desa ini terletak di dataran tinggi di sebelah barat Gunung Wilis.

Dari kedua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dulu Desa Mruwak terletak di sebelah tenggara sungai besar (sungai terletak di barat laut), karena terjadi perang desa ini dipindahkan agak jauh ke arah tenggara yang dekat dengan gunung. Sampai sekarang desa itu tetap ada yang ditandai dengan adanya Prasasti Mrwak. Sedangkan penulisan Prasasti Mrwak sendiri dilakukan setelah perpindahan Desa Mruwak, karena dalam isi prasasti dijelaskan seluruh peristiwa sampai dipindahkannya desa tersebut. Selain itu dengan indikasi prasasti yang masih insitu di Desa Mruwak yang sekarang (yang sama dengan keletakan desa setelah dipindahkan) menguatkan argumen tersebut.

clip_image006

III. Perubahan kondisi lingkungan dan pengaruhnya pada masyarakat Desa Mruwak

Secara umum intensitas curah hujan pada suatu daerah dipengaruhi oleh iklim dan bentang alam. Curah hujan pada bentang lahan datar akan berbeda dengan di daerah pegunungan, sehingga tinggi rendahnya intensitas curah hujan menentukan jenis vegetasi yang dapat dibudidayakan. Jenis-jenis flora dan fauna yang berkembang pada suatu daerah dipengaruhi pula oleh kondisi bentang alam dan iklim tersebut.

Mengenai keterangan kondisi lingkungan pada waktu itu, dapat dilihat pada pemberian pasak-pasak bagian belakang prasasti pada baris ke 12--14 :

“……..wak hanananugrahan śrī maharajasa drwya yajñā sīma masāruńan kati śarabha kakatan kaka rusa wanara paya bhuwa nala ra…….”

Diterjemahkan menjadi :

”……..pemberian (penganugrahan) śrī maharajasa drwya yajñā sīma kain sarung kati śarabha kakataŋ gagak rusa kera paya langit (udara) api dataran……..”

Dari keterangan di atas diketahui kondisi alam Desa Mruwak setelah perpindahan tempat yang sebagian besar berupa binatang-binatang di antaranya sarabha (jenis menjangan yang kemudian dijadikan binatang dalam fabel; dianggap berkaki 8 dan menghuni pegunungan salju) (Zoetmulder,1995:1037), burung gagak, rusa, dan kera. Beberapa jenis fauna yang terdapat dalam Prasasti Mrwak merupakan jenis-jenis binatang yang hidup di hutan. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mruwak setelah dipindahkan masih berupa hutan-hutan atau kemungkinan juga dekat dengan hutan.

Selain binatang, ada beberapa jenis tanaman yang disebutkan juga dalam prasasti di antaranya kakataŋ yaitu jenis tumbuhan umbi-umbian (convolvulus). Tanaman yang termasuk keluarga Convolvulus/Convolvulaceae itu tumbuh memanjat dan membelit. Daunnya berbentuk jantung, dan bunganya berbentuk lonjong berwarna putih. Umbinya menyerupai kentang atau ubi jalar. Tanaman ini sering digunakan untuk pengobatan. Bagian yang lazim digunakan dalam pengobatan adalah umbinya (www.suaramerdeka.com).

Jenis tanaman lain yang disebutkan dalam prasasti adalah paya atau kalau sekarang orang menyebutnya pare. (Zoetmulder,1995:799). Tanaman pare (Momordica charabtia) berasal dari kawasan Asia tropis. Pare tergolong tanaman semak, semusim, yang hidupnya menjalar atau merambat, dengan sulur berbentuk spiral. Daunnya tunggal, berbulu, berbentuk lekuk tangan, dan bertangkai sepanjang 10 cm. Bunganya berwarna kuning-muda. Batangnya masif mempunyai rusuk lima, berbulu agak kasar ketika masih muda, namun setelah tua gundul, warna hijau. Buahnya bulat telur memanjang, warna hijau, kuning sampai jingga, dan rasanya pahit. Biji keras, warna coklat kekuningan. (http://mbar.dagdigdug.com). Terdapat beberapa penyebutan nama tanaman pare, misalnya: paria, parea, pepareh, popare, papari, pepare, pariane, kambeh, paya, prieu, foria, pariak, paliak, truwuk, paita, poya, pudu, pentoe, beleng-gede, pania, pepule, kakariano, dan taparipong. Umumnya, pembudidayaan convolvulus dan pare dilakukan sebagai usaha sampingan. Kedua tanaman ini ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau.

Adapun gambaran lingkungan Desa Mruwak sebelum dipindahkan, tidak dijelaskan secara eksplisit dalam prasasti. Keterangan yang didapat hanya adanya serangan dari luar berupa kapal yang datang dari arah sungai. Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, dimungkinkan dulu Desa Mruwak terletak dekat dengan aliran sungai yang bermatapencaharian sebagai pencari ikan. Sedangkan untuk usaha pertanian, apabila dilihat dari kondisi sekarang, sebagian besar penduduknya tinggal di tepi Kali Catur bermatapencaharian sebagai petani dengan area persawahan yang datar dengan lahan basah, maka kemungkinan dari abad ke- 12 Masehi usaha persawahan tanah datar tersebut sudah diusahakan. Menurut Subroto (1993:156) daerah dataran rendah dengan curah hujan tinggi, lebih mengandalkan budidaya tanaman pada lahan basah dengan sistem irigasi yang teratur. Pada lahan semacam ini, tanaman padi dengan irigasi yang memadai dapat diupayakan dengan baik.

Dari berbagai sumber yang ada, diketahui bahwa masyarakat Jawa Kuna telah mengenal dan mengembangkan sistem pertanian baik kering maupun basah. Beberapa prasasti Jawa Kuna yang dapat digunakan untuk mengetahui kehidupan pertanian masa lalu adalah: Prasasti Kamalagi (831 M), Prasasti Watukura I (902 M), Prasasti Harinjing (921 M), Prasasti Kamalagyan (1037 M), Prasasti Kandangan (1350 M) dan masih ada beberapa prasasti yang lainnya. Di dalam prasasti-prasasti tersebut terdapat keterangan yang berhubungan dengan kehidupan pertanian, antara lain mengenai jenis pertanian, pejabat yang mengurusi pertanian, pajak pertanian, serta usaha-usaha yang dilakukan oleh penguasa dalam upaya untuk memajukan pertanian (Subroto,1993:155).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat Jawa Kuna telah mengenal dan mengembangkan jenis pertanian basah atau jenis pertanian sawah. Jenis pertanian sawah biasanya dihubungkan dengan pertanian padi, dalam pengertian bahwa lahan tempat menanam padi adalah sawah. Dalam suatu persawahan tentunya diperlukan sistem irigasi atau pengairan. Berdasarkan cara pengairannya, pertanian padi di sawah dapat dibedakan menjadi sawah sorotan dan sawah tadahan. Sawah sorotan mendapatkan pengairan dari sumber mata air atau sungai, sedangkan sawah tadahan memperoleh pengairan dari air hujan. Melihat dari kondisi sekarang, kemungkinan dulu masyarakat Desa Mruwak sebelum desa tersebut dipindahkan mengusahakan pertanian lahan basah atau sawah. Selanjutnya kondisi alam yang dekat dengan sungai tentunya sistem yang digunakan adalah sawah sorotan.

Sedangkan setelah mengalami perpindahan, apabila dibandingkan dengan keadaan Desa Mruwak saat ini, penduduk desa itu pada masa lalu masih tetap dalam bidang pertanian namun dengan menggunakan sawah berteras, walaupun beberapa tempat masih dijumpai area persawahan lahan datar. Sedangkan untuk sistem pengairan, tentunya tidak lagi bergantung pada sungai namun lebih pada mata air karena letaknya yang berada di dataran tinggi dan dekat dengan hutan, selain juga air hujan ketika memasuki musim penghujan. Selain usaha pertanian, usaha perladangan juga dibudidayakan di Desa Mruwak pada masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanaman convolvulus atau tanaman umbi-umbian dan juga tanaman pare. Selain itu dengan potensi alam yang sebagian berupa hutan maka penduduk Desa Mruwak membudidayakan hasil hutan serta berburu yang dibuktikan dengan adanya penyebutan jenis-jenis binatang hutan dalam Prasasti Mrwak.

IV. Penutup

Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mrwak dan Sirah Kĕting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur.

Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani, namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa, serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mrwak menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.

Kepustakaan

Bernet Kempers, A. J, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press

Boechari, 1977. Epigrafi dan Sejarah Indonesia, dalam Majalah Arkeologi I (2). Jakarta: FS UI), hal. 1--40

Boechari, 1978. Bahan Kajian Arkeologi Untuk Pengajaran Sejarah, dalam Majalah Arkeologi II (1). Jakarta: FS UI, hal. 3--26

Boechari, 1982. Aneka Catatan Epigrafi dan Sejarah Kuna Indonesia, dalam Majalah Arkeologi V (1). Jakarta: FS UI, hal. 15--38

Brandes, J.L.A, 1913. Oud Javaansche Orkonden, disunting oleh N.J. Krom, VBG LX. Batavia: Albrecht & Co.; ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff

Damais, Louis-Charles, 1952. É´tudes d’Ephigraphie Indonesiénne: III. Liste de Principale Inscription dates de I’ Indonesiénne, dalam BEFEO Jilid XLVI. Hanoi, hal. 1--105

Djafar, Hasan, 2001. Prasasti dan Historiografi, dalam Pengantar Epigrafi. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 41--82

Haryono, Timbul, 1980. Gambaran tentang Penetapan Sima, dalam Majalah Arkeologi 3 (1-2). Jakarta: FSUI, hal. 35--54

Jones, A.M.B, 1984. Early Tenth Century Java from The Inscriptions. Dordrecht Holland/Cinnanison USA: Foris Publication

Nasoichah, Churmatin, 2007. Prasasti Mrwak 1108 Śaka (1186 Masehi). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Soeroso, 1996. Sebab-sebab dan Akibat Perang, dalam Kalpataru Majalah Arkeologi 12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 12--27

Soesanti, Ninie, 1992. Masalah Sekitar Ketentuan Status Sīma Pada Masyarakat Jawa Kuna, Laporan Penelitian Proyek DIP-OP FSUI. Depok: FSUI.

Subroto, Ph, 1993. Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnoarkeologis. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Suhadi, Machi dan K. Richadiana, 1996. Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 47. Jakarta: Puslit Arkenas, hal. 41--58

Wardhani, D.S. Setya, 1982. Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia X (2). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 161--168

Wojowasito, S , Prof, Drs, 1977. Kamus Kawi-Indonesia. Bandung: Penerbit CV Pengarang

Wurjantoro, Edhie, 1986. Wdihan dalam masyarakat Jawa Kuna Abad IX-X M (sebuah telaah data prasasti), dalam PIA IV, jilid IV. Jakarta: Puslitarkenas, hal. 197--217

Zoetmulder, P. J, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerjemah: Darusuprapta dan Sumarti Saprayitna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

http://mbar.dagdigdug.com/2008/05/15/pare-si-pahit-yang-banyak-khasiat

http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/31/ragam05.htm

3 komentar:

Churmatin Blogs mengatakan...

mmm.....capek juga nulisnya..tp puas....akhirnya bisa di posting....

Anonim mengatakan...

berdasarkan prasasti tersebut, dampaknya apa ya?apa berubah menjadi lebih baik ato malah jadi kurang baik?

churmatin mengatakan...

dampaknya ya masyarakat saat itu menjadilebih aman karena letaknya yang agak menjauh dari sungai sehingga serangan dari luar (melalui sungai) tidak langsung mengena ke desa tersebut

Posting Komentar