Kamis, 27 Agustus 2009

PERPINDAHAN DESA MRUWAK

BERDASARKAN PRASASTI MRWAK (1108 ŚAKA/1186 M)

Churmatin Nasoichah

Balai Arkeologi Medan

Abstract

The tragedy of war is one aspect which contained in some inscriptions. In the other side,it has a very bad effect for the people themselves, e.g. removeling a village location. That event have a direct impact to the life’s pattern which has an interconnection with the environment and their livelihood changing

Kata kunci: perang, pindah, Desa Mruwak, lahan basah

I. Pendahuluan

Banyak informasi tentang kehidupan yang dapat diungkapkan dari sebuah data arkeologi berupa prasasti, baik itu mengenai sistem pertanian, perdagangan, peradilan maupun sistem keagamaan. Beberapa aspek tersebut saling terkait satu dengan yang lain sehingga mampu menggambarkan kehidupan masa lalu. Prasasti-prasasti yang ditemukan di Pulau Jawa umumnya berisi penetapan sīma maupun keputusan peradilan (jayapatra) yang memuat informasi tentang berbagai hal seperti mengenai waktu dibuatnya prasasti, nama penguasa, nama tempat serta alasan dibuatnya prasasti. Perang merupakan satu aspek peristiwa yang termuat dalam isi prasasti dan menarik untuk dijadikan bahan kajian. Perebutan kekuasaan ataupun perebutan wilayah pada masa lalu, sering dilakukan dengan jalan peperangan/penyerangan. Penyerangan tersebut dapat dilakukan melalui jalur darat ataupun melalui jalur air (laut, pantai, sungai). Selain kemenangan atau kekalahan, perang mempunyai dampak buruk bagi masyarakat. Banyak keluarga yang kehilangan anggota keluarganya dan harta kekayaan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah perubahan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam hal ini berkaitan dengan lingkungan dan mata pencaharian mereka.

Satu contoh prasasti yang di dalamnya memuat tentang peperangan/ penyerangan adalah Prasasti Mrwak. Prasasti Mrwak sampai saat ini masih insitu. Isi pokok prasasti ini adalah penetapan Desa Mruwak menjadi sīma. Sebab penetapan tersebut adalah adanya penyerangan dari pihak luar, sehingga Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi dari lokasi semula. Permasalahan yang dimunculkan dalam tulisan ini adalah apakah perpindahan lokasi Desa Mruwak tersebut membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakatnya? Untuk menjawab permasalahan tersebut, selain melalui sumber prasasti juga dilengkapi dengan perbandingan dengan lokasi dan kondisi Desa Mruwak pada saat ini.

II. Mrwak, desa tua di kaki Gunung Wilis

Saat ini Mruwak merupakan desa kecil yang terletak di bagian barat kaki Gunung Wilis tepatnya di Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur. Desa Mruwak yang terletak di selatan Kota Madiun ini masih relatif sepi karena jauh dari pusat kota. Tidak jauh dari desa ini (sekitar 1 km) terdapat aliran sungai yang oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur. Sungai atau Kali Catur ini memiliki lebar 50 meter dan merupakan aliran sungai yang cukup deras. Penduduk setempat memanfaatkan sungai ini untuk irigasi sawah, menambang batu dan mencari ikan. Kondisi alam Desa Mruwak sangat subur, masih banyak hutan terutama tanaman jati serta area persawahan. Pada umumnya penduduk setempat menggunakan sawah berteras karena keletakannya di dataran tinggi.

clip_image002

Penyebutan Desa Mruwak didasarkan pada temuan prasasti yang terletak di desa tersebut, yaitu Prasasti Mrwak. Prasasti ini terletak di bagian belakang sebuah pekuburan umum di Desa Mruwak dan sampai saat ini masih insitu. Oleh beberapa penduduk, prasasti ini dipakai untuk ritual keagamaan dan dikeramatkan. Prasasti Mrwak terbuat dari batuan andesit (upala prasasti) yang berbentuk blok (balok) dengan variasi puncak setengah lingkaran. Tinggi prasasti ini 84 cm, lebar 60 cm (atas) dan 45 cm (bawah), bagian bawahnya berbentuk bunga padma. Prasasti Mrwak beraksara dan berbahasa Jawa Kuna yang dipahatkan di semua sisinya. Bentuk hurufnya kasar, tidak teratur serta pada beberapa bagian sudah aus. Sisi lainnya ditumbuhi lumut dan jamur yang menyebabkan prasasti tersebut rusak (Nasoichah,2007:23--24).

Penggunaan kata Mrwak dalam prasasti masih dipakai hingga sekarang sebagai penyebutan nama Desa Mruwak. Dari pembacaan, diketahui Prasasti Mrwak berangka tahun 1108 Śaka (1186 M), menyebut tentang desa Mrwak dan nama Digjaya Śastraprabhu. Penyebutan nama raja ini juga ditemukan pada prasasti lain dengan sebutan Śrī Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu. Nama Śastraprabhu disebutkan di dalam dua prasasti. Pertama, Prasasti Mrwak dan kedua Prasasti Sirah Kĕting yang berasal dari Dukuh Sirah Kĕting, Desa Bandingan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang berangka tahun 1126 Ś (Wardhani,1982:161). Untuk lebih memfokuskan pokok bahasan maka artikel ini hanya akan membahas mengenai isi Prasasti Mrwak dan tidak akan menyinggung nama Śastraprabhu.

Adapun transkripsi dari Prasasti Mrwak adalah sebagai berikut :

Bagian Depan

  1. ……………………………………
  2. ….. (śri) ……………………………
  3. _ (sa) ńajña haji raja praśasti ma
  4. tańda rakryan ikhań asīma rama
  5. mrwak swasti saka warsatīta ri śaka
  6. 1108 phālguna dasa klapaksa mawulu ma sa wa
  7. tu(?) nairita sidhi śiŋha _ _ sasi _ uma rika di
  8. waśa rasa yajya śrī jaya prabhu dhwaja thunda _ _
  9. ………pusaka rakai rama kadi rakryan dmuŋ
  10. sri paja hajjaśya raka wamasudra prabhu ha _
  11. rakryan juru jarah sri __ sapata _ ka _ _
  12. wusanya sasańa _ ----saruran saka dhū
  13. ma ńkā(na) ­-­­­­­­­------ sa ----------……………..

Bagian Belakang

1. ka juru pańalas ( ? )………………………….na

2. _ nra ma na ……………………………………….

3. bahita raksa naruńu sa _ (b) damapaŋ………..

4. _ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _

5. _ kasĕh śira bathara sri jaya mantra saka pama

6. sah ńwara nusa śarwwenayāpala mrwań śamara sa

7. maŋkana mańan sri kanuruhan ńasa raksa tanda duka ni

8. ra swamartya mayākarma ranabhūmi juru talaŋ

9. madhawa ­krah matta thūnah ruru dsa _ _ hada rat

10. lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikra

11. ma juru manutan samanta sakara kańa sīma mr

12. wak hanananugrahan śrī maharajasa dr

13. wya yajñā sīma ma sāruńan kati śarabha

14. kakatan kaka rusa wanara paya bhuwa nala ra

15. tā kamala…………………wakā …..

16. sadī māsa º ka ---- raja _ _ _

Bagian Kiri

1. n sa ……

2. bhutāla

3. kadapa nusa

4. kań misdani(?)

5. _ rasa saśa

6. sīta dhamū

7. manawa ka

8. wya kapu

9. clip_image004nyayan kala

10. wa tā la(ra)

11. hańa _

12. masalas

13. ta…….

Bagian Kanan

1. taparasi

2. ma(?)nalas wama

3. na sāńāmi ha

4. ­ ji wipra nata

5. ra ki ra(?) sira

6. mata nyapan

7. nikań

8. sīma kań

9. karusak

10. ńajar haji

11. praśasti

12. sira mawas

13. ……kama

14. saprahara

15. srī jaya pra

16. bhu ------ka

Berdasar keterangan dalam Prasasti Mrwak, Desa Mruwak pernah mengalami perpindahan tempat. Hal ini dikarenakan Desa Mruwak mendapat serangan dari pihak luar. Seperti dapat dilihat dari isinya, Prasasti Mrwak yang berupa prasasti sīma diturunkan oleh śrī jaya prabhu yang yang tidak lain merupakan penguasa wilayah Madiun dan Ponorogo. Peristiwa penyerangan tersebut disebutkan dalam sambandha dan isi prasasti.

Dalam bagian sambandha, pada bagian belakang prasasti baris ke 7--11 dijelaskan bahwa:

“……..Samaŋkana mańan sri kanuruhan ńasa raksa tanda duka nira swamartya mayākarma ranabhūmi juru talaŋ madhawa ­krah matta thunah ruru dsa _ _ hada rat lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikrama juru manutan samanta sakāra kańa sīma mrwak…..”

yang diterjemahkan sebagai:

“……..demikian meraung (meratap) sri kanuruhan binasa melindungi tanda dukanya bumi memperdayakan medan pertempuran Juru talaŋ madhawa dalam jumlah besar marah bertumpuk gugur di desa _ _ (mrwak?) berdirilah dunia (daratan) dipindahkan ke arah atas sana kadāhaka tyas dengan keberanian (keteguhan hati) juru manutan seluruh berubah dengan mudah lalu sīma mrwak….”

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa di Desa Mruwak telah terjadi serangan secara tiba-tiba yang datangnya dari arah sungai dengan menggunakan kapal. Terjadilah peperangan yang menewaskan banyak orang di medan pertempuran. Dalam peperangan ini menewaskan seseorang yang bernama sri kanuruhan beserta bala tentaranya dalam jumlah yang besar. Namun tidak diketahui dari pihak (kerajaan) mana penyerangan tersebut.

Akibat dari penyerangan tersebut akhirnya Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang agak jauh dari sungai yaitu dekat dengan gunung (di kaki Gunung Wilis) dengan bantuan juru manutan. Hal ini kemungkinan dilakukan agar penduduk desa merasa aman dan untuk pertahanan. Karena telah terjadi serangan secara tiba-tiba itu maka diperintahkanlah pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk melakukan penjagaan terhadap Desa Mruwak. Wilayah penjagaannya meliputi sungai besar (Kali Catur) karena di tempat itulah serangan dari luar bisa masuk.

Sementara pada bagian isi yang dituliskan pada bagian belakang prasasti baris ke 3--6 dijelaskan bahwa :

“…bahita raksa naruńu sa _ (b)da mapaŋ………._ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _ _ kasĕh śira bathara sri jaya mantra saka pamasah ńwara nusa śarwwenayāpala mrwak śamara……”

yang diterjemahkan sebagai:

“……penjagaan kapal tendengar bunyi tiba-tiba (tidak dinantikan)……barat laut yang dinamakan matta hayu mata jala _ _ _diberikan dia tuan yang mulia Sri Jaya mantra dari pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala peperangan mrwak ……”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa isi prasasti berupa pemberian perintah kepada Pangeran ńwara nusa śarwwenayāpala untuk menjaga kapal (pertahanan) karena sebelumnya telah mendapat serangan secara tiba-tiba dari arah barat laut, sehingga terjadilah peperangan di Mrwak.

Apabila dibandingkan antara bentang alam Desa Mruwak sekarang dengan keterangan dari isi Prasasti Mrwak, ternyata tidak jauh berbeda, keletakan prasasti yang masih insitu memungkinan untuk dapat lebih mudah dalam analisis kemudian membandingkannya dengan kondisi saat ini. Dalam menganalisis sebuah prasasti banyak hal yang dapat diketahui, baik itu yang berkaitan dengan keletakan, bentangan alam, maupun faktor lain seperti jenis-jenis binatang dan tumbuhan yang ada di tempat tersebut.

Identifikasi nama tempat (toponimi) dari sumber prasasti perlu dilakukan untuk menggambarkan keletakan tempat ke dalam peta yang kita kenal pada masa ini. Hal ini dilakukan karena nama-nama tempat pada masa kerajaan kuna Indonesia sudah sangat berbeda dengan nama-nama sekarang meskipun ada sebagian yang masih tetap sama, misalnya nama Daha, ibu kota kerajaan Kadiri.

Dalam Prasasti Mrwak terdapat penyebutan nama Mrwak yang dijadikan daerah sīma oleh Śrī Jaya Prabhu. Sampai saat ini penggunaan nama Mrwak masih terus dipakai untuk menyebutkan nama Desa Mruwak, hanya penulisannya mengalami sedikit perubahan. Semula berdasarkan isi prasasti, penulisan nama ini adalah Mrwak, namun saat ini masyarakat lebih mengenal dengan nama Mruwak.

Keletakan Desa Mruwak dapat dibandingkan berdasarkan Prasasti Mrwak dengan toponimi sekarang. Seperti kita lihat pada bagian belakang prasasti baris ke 3--4 disebutkan :

“……bahita raksa naruńu sabda mapaŋ………._ _ _ bāyabya mańaran matta hayu mata _ _ _”

diterjemahkan menjadi:

“….... kapal perlindungan terdengar bunyi yang tiba-tiba…….._ _ _ barat laut yang dinamakan matta hayu mata jala…..”

Dari keterangan di atas dapat diketahui adanya sungai besar yang terletak di baratlaut Desa Mruwak, ketika ada kapal yang datang dengan tiba-tiba. Bila kita bandingkan dengan kondisi Desa Mruwak sekarang, di sebelah barat laut sekitar 1 km dari desa Mruwak terdapat sungai besar yang oleh penduduk setempat disebut dengan Kali Catur.

Selain itu pada bagian belakang baris 9--10 disebutkan :

“……madhawa ­krah matta thūnah ruru dsa _ _ hada rat lumalih muńgah ńara mah khadahāka tyasawikrama……..”

diterjemahkan menjadi:

“……..madhawa dalam jumlah besar marah bertumpuk gugur di desa _ _ (mrwak?) berdirilah dunia (daratan) dipindahkan ke arah atas sana khadāhaka tyas dengan keberanian (keteguhan hati)…..”

Dari keterangan di atas diketahui bahwa Desa Mruwak pernah dipindahkan karena telah terjadi perang. Desa Mruwak dipindahkan ke tempat yang lebih tinggi di kadāhaka tyas yaitu daerah yang terletak di bagian tengah yang keras dari lembah gunung. Apabila dibandingkan dengan keletakan Desa Mruwak sekarang, desa ini terletak di dataran tinggi di sebelah barat Gunung Wilis.

Dari kedua keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dulu Desa Mruwak terletak di sebelah tenggara sungai besar (sungai terletak di barat laut), karena terjadi perang desa ini dipindahkan agak jauh ke arah tenggara yang dekat dengan gunung. Sampai sekarang desa itu tetap ada yang ditandai dengan adanya Prasasti Mrwak. Sedangkan penulisan Prasasti Mrwak sendiri dilakukan setelah perpindahan Desa Mruwak, karena dalam isi prasasti dijelaskan seluruh peristiwa sampai dipindahkannya desa tersebut. Selain itu dengan indikasi prasasti yang masih insitu di Desa Mruwak yang sekarang (yang sama dengan keletakan desa setelah dipindahkan) menguatkan argumen tersebut.

clip_image006

III. Perubahan kondisi lingkungan dan pengaruhnya pada masyarakat Desa Mruwak

Secara umum intensitas curah hujan pada suatu daerah dipengaruhi oleh iklim dan bentang alam. Curah hujan pada bentang lahan datar akan berbeda dengan di daerah pegunungan, sehingga tinggi rendahnya intensitas curah hujan menentukan jenis vegetasi yang dapat dibudidayakan. Jenis-jenis flora dan fauna yang berkembang pada suatu daerah dipengaruhi pula oleh kondisi bentang alam dan iklim tersebut.

Mengenai keterangan kondisi lingkungan pada waktu itu, dapat dilihat pada pemberian pasak-pasak bagian belakang prasasti pada baris ke 12--14 :

“……..wak hanananugrahan śrī maharajasa drwya yajñā sīma masāruńan kati śarabha kakatan kaka rusa wanara paya bhuwa nala ra…….”

Diterjemahkan menjadi :

”……..pemberian (penganugrahan) śrī maharajasa drwya yajñā sīma kain sarung kati śarabha kakataŋ gagak rusa kera paya langit (udara) api dataran……..”

Dari keterangan di atas diketahui kondisi alam Desa Mruwak setelah perpindahan tempat yang sebagian besar berupa binatang-binatang di antaranya sarabha (jenis menjangan yang kemudian dijadikan binatang dalam fabel; dianggap berkaki 8 dan menghuni pegunungan salju) (Zoetmulder,1995:1037), burung gagak, rusa, dan kera. Beberapa jenis fauna yang terdapat dalam Prasasti Mrwak merupakan jenis-jenis binatang yang hidup di hutan. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Mruwak setelah dipindahkan masih berupa hutan-hutan atau kemungkinan juga dekat dengan hutan.

Selain binatang, ada beberapa jenis tanaman yang disebutkan juga dalam prasasti di antaranya kakataŋ yaitu jenis tumbuhan umbi-umbian (convolvulus). Tanaman yang termasuk keluarga Convolvulus/Convolvulaceae itu tumbuh memanjat dan membelit. Daunnya berbentuk jantung, dan bunganya berbentuk lonjong berwarna putih. Umbinya menyerupai kentang atau ubi jalar. Tanaman ini sering digunakan untuk pengobatan. Bagian yang lazim digunakan dalam pengobatan adalah umbinya (www.suaramerdeka.com).

Jenis tanaman lain yang disebutkan dalam prasasti adalah paya atau kalau sekarang orang menyebutnya pare. (Zoetmulder,1995:799). Tanaman pare (Momordica charabtia) berasal dari kawasan Asia tropis. Pare tergolong tanaman semak, semusim, yang hidupnya menjalar atau merambat, dengan sulur berbentuk spiral. Daunnya tunggal, berbulu, berbentuk lekuk tangan, dan bertangkai sepanjang 10 cm. Bunganya berwarna kuning-muda. Batangnya masif mempunyai rusuk lima, berbulu agak kasar ketika masih muda, namun setelah tua gundul, warna hijau. Buahnya bulat telur memanjang, warna hijau, kuning sampai jingga, dan rasanya pahit. Biji keras, warna coklat kekuningan. (http://mbar.dagdigdug.com). Terdapat beberapa penyebutan nama tanaman pare, misalnya: paria, parea, pepareh, popare, papari, pepare, pariane, kambeh, paya, prieu, foria, pariak, paliak, truwuk, paita, poya, pudu, pentoe, beleng-gede, pania, pepule, kakariano, dan taparipong. Umumnya, pembudidayaan convolvulus dan pare dilakukan sebagai usaha sampingan. Kedua tanaman ini ditanam di lahan pekarangan, atau tegalan, atau di sawah bekas padi sebagai penyelang pada musim kemarau.

Adapun gambaran lingkungan Desa Mruwak sebelum dipindahkan, tidak dijelaskan secara eksplisit dalam prasasti. Keterangan yang didapat hanya adanya serangan dari luar berupa kapal yang datang dari arah sungai. Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, dimungkinkan dulu Desa Mruwak terletak dekat dengan aliran sungai yang bermatapencaharian sebagai pencari ikan. Sedangkan untuk usaha pertanian, apabila dilihat dari kondisi sekarang, sebagian besar penduduknya tinggal di tepi Kali Catur bermatapencaharian sebagai petani dengan area persawahan yang datar dengan lahan basah, maka kemungkinan dari abad ke- 12 Masehi usaha persawahan tanah datar tersebut sudah diusahakan. Menurut Subroto (1993:156) daerah dataran rendah dengan curah hujan tinggi, lebih mengandalkan budidaya tanaman pada lahan basah dengan sistem irigasi yang teratur. Pada lahan semacam ini, tanaman padi dengan irigasi yang memadai dapat diupayakan dengan baik.

Dari berbagai sumber yang ada, diketahui bahwa masyarakat Jawa Kuna telah mengenal dan mengembangkan sistem pertanian baik kering maupun basah. Beberapa prasasti Jawa Kuna yang dapat digunakan untuk mengetahui kehidupan pertanian masa lalu adalah: Prasasti Kamalagi (831 M), Prasasti Watukura I (902 M), Prasasti Harinjing (921 M), Prasasti Kamalagyan (1037 M), Prasasti Kandangan (1350 M) dan masih ada beberapa prasasti yang lainnya. Di dalam prasasti-prasasti tersebut terdapat keterangan yang berhubungan dengan kehidupan pertanian, antara lain mengenai jenis pertanian, pejabat yang mengurusi pertanian, pajak pertanian, serta usaha-usaha yang dilakukan oleh penguasa dalam upaya untuk memajukan pertanian (Subroto,1993:155).

Seperti yang telah dijelaskan di atas, masyarakat Jawa Kuna telah mengenal dan mengembangkan jenis pertanian basah atau jenis pertanian sawah. Jenis pertanian sawah biasanya dihubungkan dengan pertanian padi, dalam pengertian bahwa lahan tempat menanam padi adalah sawah. Dalam suatu persawahan tentunya diperlukan sistem irigasi atau pengairan. Berdasarkan cara pengairannya, pertanian padi di sawah dapat dibedakan menjadi sawah sorotan dan sawah tadahan. Sawah sorotan mendapatkan pengairan dari sumber mata air atau sungai, sedangkan sawah tadahan memperoleh pengairan dari air hujan. Melihat dari kondisi sekarang, kemungkinan dulu masyarakat Desa Mruwak sebelum desa tersebut dipindahkan mengusahakan pertanian lahan basah atau sawah. Selanjutnya kondisi alam yang dekat dengan sungai tentunya sistem yang digunakan adalah sawah sorotan.

Sedangkan setelah mengalami perpindahan, apabila dibandingkan dengan keadaan Desa Mruwak saat ini, penduduk desa itu pada masa lalu masih tetap dalam bidang pertanian namun dengan menggunakan sawah berteras, walaupun beberapa tempat masih dijumpai area persawahan lahan datar. Sedangkan untuk sistem pengairan, tentunya tidak lagi bergantung pada sungai namun lebih pada mata air karena letaknya yang berada di dataran tinggi dan dekat dengan hutan, selain juga air hujan ketika memasuki musim penghujan. Selain usaha pertanian, usaha perladangan juga dibudidayakan di Desa Mruwak pada masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanaman convolvulus atau tanaman umbi-umbian dan juga tanaman pare. Selain itu dengan potensi alam yang sebagian berupa hutan maka penduduk Desa Mruwak membudidayakan hasil hutan serta berburu yang dibuktikan dengan adanya penyebutan jenis-jenis binatang hutan dalam Prasasti Mrwak.

IV. Penutup

Dilihat dari identifikasi tempat, diketahui bahwa wilayah kekuasaan Śrī Jaya Prabhu berada di sekitar Madiun dan Ponorogo (berdasarkan Prasasti Mrwak dan Sirah Kĕting), yaitu terletak di sebelah barat Gunung Wilis. Sedangkan Desa Mruwak yang dijadikan sīma sendiri terletak di barat Gunung Wilis dan di tenggara sungai besar (berdasarkan Prasasti Mrwak). Bagian yang menarik dari Prasasti Mrwak, bahwa letak Desa Mruwak yang digambarkan dalam prasasti tersebut masih dapat dibuktikan dengan toponimi saat ini. Sungai besar yang disebutkan dalam prasasti sampai sekarang masih ada, oleh penduduk setempat dinamakan Kali Catur.

Mengenai perpindahan tempat, Desa Mruwak berpindah dari tempat yang dekat dengan sungai ke tempat yang lebih tinggi, yaitu dekat gunung dan hanya berjarak sekitar 1 km. Kondisi tersebut memungkinkan penduduk desa pada masa itu masih tetap bermatapencaharian sebagai petani sehingga perpindahan ini tidak terlalu signifikan. Namun apabila dilihat kondisi desa saat ini terdapat perbedaan penggunaan lahannya, dahulu bertani dengan menggunakan sawah datar dengan lahan basah karena dekat sungai, kemudian beralih menjadi sawah berteras karena berada pada lereng gunung. Kondisi yang berdekatan dengan sungai memungkinkan dahulu masyarakat Desa Mruwak juga mencari ikan selain bertani, namun ketika berpindah sebagian kegiatannya berubah menjadi berburu di hutan dan berladang. Penyebutan jenis-jenis binatang hutan seperti kera dan rusa, serta tanaman-tanaman perladangan seperti tanaman pare di dalam Prasasti Mrwak menggambarkan dilaksanakannya kegiatan tersebut.

Kepustakaan

Bernet Kempers, A. J, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press

Boechari, 1977. Epigrafi dan Sejarah Indonesia, dalam Majalah Arkeologi I (2). Jakarta: FS UI), hal. 1--40

Boechari, 1978. Bahan Kajian Arkeologi Untuk Pengajaran Sejarah, dalam Majalah Arkeologi II (1). Jakarta: FS UI, hal. 3--26

Boechari, 1982. Aneka Catatan Epigrafi dan Sejarah Kuna Indonesia, dalam Majalah Arkeologi V (1). Jakarta: FS UI, hal. 15--38

Brandes, J.L.A, 1913. Oud Javaansche Orkonden, disunting oleh N.J. Krom, VBG LX. Batavia: Albrecht & Co.; ‘s Gravenhage: Martinus Nijhoff

Damais, Louis-Charles, 1952. É´tudes d’Ephigraphie Indonesiénne: III. Liste de Principale Inscription dates de I’ Indonesiénne, dalam BEFEO Jilid XLVI. Hanoi, hal. 1--105

Djafar, Hasan, 2001. Prasasti dan Historiografi, dalam Pengantar Epigrafi. Depok: Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 41--82

Haryono, Timbul, 1980. Gambaran tentang Penetapan Sima, dalam Majalah Arkeologi 3 (1-2). Jakarta: FSUI, hal. 35--54

Jones, A.M.B, 1984. Early Tenth Century Java from The Inscriptions. Dordrecht Holland/Cinnanison USA: Foris Publication

Nasoichah, Churmatin, 2007. Prasasti Mrwak 1108 Śaka (1186 Masehi). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Soeroso, 1996. Sebab-sebab dan Akibat Perang, dalam Kalpataru Majalah Arkeologi 12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 12--27

Soesanti, Ninie, 1992. Masalah Sekitar Ketentuan Status Sīma Pada Masyarakat Jawa Kuna, Laporan Penelitian Proyek DIP-OP FSUI. Depok: FSUI.

Subroto, Ph, 1993. Sistem Pertanian Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis dan Etnoarkeologis. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

Suhadi, Machi dan K. Richadiana, 1996. Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 47. Jakarta: Puslit Arkenas, hal. 41--58

Wardhani, D.S. Setya, 1982. Śri Jayawarsa Digwijaya Śastraprabhu, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia X (2). Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hal. 161--168

Wojowasito, S , Prof, Drs, 1977. Kamus Kawi-Indonesia. Bandung: Penerbit CV Pengarang

Wurjantoro, Edhie, 1986. Wdihan dalam masyarakat Jawa Kuna Abad IX-X M (sebuah telaah data prasasti), dalam PIA IV, jilid IV. Jakarta: Puslitarkenas, hal. 197--217

Zoetmulder, P. J, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerjemah: Darusuprapta dan Sumarti Saprayitna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

http://mbar.dagdigdug.com/2008/05/15/pare-si-pahit-yang-banyak-khasiat

http://www.suaramerdeka.com/harian/0712/31/ragam05.htm

PUSTAHA LAKLAK:

 ANTARA KARYA SASTRA DAN SOUVENIR

Churmatin Nasoichah

Balai Arkeologi Medan

Abstract

Pustaha Laklak is the literary of Batak society. It’s needed to improve the idea to create and perpetuate it. To promote, pustaha laklak could be used as souvenir although it’s not the original one.

Kata kunci: pustaha, sastra Batak, souvenir

1. Pendahuluan

Arkeologi sebagai disiplin ilmu selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Disiplin ilmu ini tidak dapat lagi membatasi diri hanya pada permasalahan yang berhubungan dengan masa lalu, tetapi harus juga mengikuti arus perkembangan masyarakat di masa sekarang dan masa depan. Peran serta masyarakat terhadap bidang kajian arkeologi tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan, maka sudah sepantasnyalah arkeologi turut berperan dalam pembangunan. Salah satu caranya adalah dengan menunjukkan dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang peran dan manfaat arkeologi bagi masyarakat itu sendiri, baik menyangkut disiplin ilmu maupun objek kajian.

Muncul dan berkembangnya bidang kajian arkeologi publik dewasa ini merupakan suatu bentuk kepedulian disiplin ilmu arkeologi kepada masyarakat. Dalam kajian arkeologi publik, yaitu kajian yang membahas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mepresentasi hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat, terdapat tiga pihak utama yang berperan penting. Dalam hal ini adalah pihak pemerintah, akademisi, dan publik atau masyarakat (Prasodjo, 2004).

Berkaitan dengan hal tersebut, seperti yang baru-baru ini diketahui, pemerintah dalam usahanya meningkatkan kualitas dan pendapatan negara membuat suatu gagasan tentang pengenalan industri kreatif. Pada tanggal 22 Desember 2008, pemerintah mencanangkan tahun 2009 sebagai ‘Tahun Indonesia Kreatif’ yaitu industri yang bergerak melalui pengembangan ide-ide kreatif. Industri kreatif dipahami sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan kerja dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta industri tersebut (www.Depkop.go.id). Menurut metode penghitungan dengan menggunakan data sekunder yang berbasis KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) dari BPS (Badan Pusat Statistik) setidaknya terdapat 14 subsektor yaitu: periklanan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, video film dan fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, televisi dan radio, riset dan pengembangan (www.depkop.go.id). Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah peluang untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang nantinya dapat menjadi komoditas industri berkaitan dengan kekayaan budaya masyarakat setempat. Adapun arkeologi dapat menjadi motor penggerak dalam pengembangan industri kreatif terutama yang menyangkut tentang kebudayaan.

Meskipun program industri kreatif baru dicanangkan, namun apabila dilihat di beberapa tempat khususnya Sumatera Utara, dalam usaha pengenalan objek wisata sudah banyak yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat setempat dalam mengembangkan industri kreatif ini. Misalnya, Danau Toba yang merupakan salah satu ikon Sumatera Utara, dalam usaha pengenalan objek wisata kepada msyarakat luas, bahkan sampai mancanegara, salah satunya dengan melalui pembuatan souvenir. Menurut Tesaurus Bahasa Indonesia, souvenir diartikan cindera / cindur / tanda mata, kenang-kenangan, sagu hati (Endarmoko,2006:610). Souvenir memiliki arti penting bagi wisatawan yang datang ke sebuah objek wisata. Selain kepuasan menikmati objek wisata yang mempesona, souvenir digunakan sebagai kenang-kenangan untuk mengenang bahwa wisatawan pernah berkunjung ke objek wisata tersebut. Selain itu, souvenir dapat juga dijadikan sarana publikasi dan promosi objek wisata agar mampu menarik wisatawan lain untuk berkunjung ke tempat tersebut. Souvenir dapat bermacam-macam mulai dari benda-benda modern sampai barang-barang antik dan khas, atau miniatur dari obyek wisata itu sendiri. Beberapa di antaranya dapat berupa hiasan dinding, gantungan kunci, miniatur candi. Salah satu benda menarik dan khas yang terdapat di Sumatera Utara dan dapat dikembangkan menjadi souvenir adalah Pustaha Laklak. Walaupun saat ini souvenir tersebut sudah diproduksi di beberapa tempat tetapi dapat dikatakan langka di pasar souvenir, terutama di kota Medan.

2. Pustaha Lak-Lak di Masa Lalu

a. Deskripsi Pustaha Laklak

Pada masa lampau masyarakat Batak jarang menggunakan media tulis untuk mengabadikan sebuah peristiwa. Sebagian besar sastra Batak tidak ditulis atau dicatat. Cerita rakyat dalam bentuk fabel, mitos, dan legenda, umpama dan umpasa, torhan-torhanan, turi-turian, huling- hulingan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Hanya beberapa hal tertentu saja yang dituliskannya pada sebuah media, baik itu pada pustaha, bambu ataupun pada kertas.

clip_image002

Naskah-naskah asli Batak sebagian besar berupa pustaha (lak-lak), sebagian kecil lainnya dituliskan pada bambu dan kertas. Pustaha Laklak merupakan bukti tertulis dari Sastra Batak yang usianya relatif tua. Pustaha adalah semacam buku yang terbuat dari kulit kayu (lak-lak) yang dilipat sedemikian rupa dengan sampul terbuat dari kayu alim. Pada hakikatnya, sebuah pustaha terdiri dari laklak dan lampak. Laklak adalah lembaran-lembaran yang ada di dalam, sedangkan lampak adalah sampul bukunya. Keduanya dibuat dari kayu alim yang pohonnya banyak dijumpai di daerah Dairi, Karo dan Toba. Seperti halnya naskah-naskah tua lainnya, Pustaha Laklak memiliki nilai dan makna penting bagi perkembangan budaya, khususnya suku Batak. Pustaha yang keberadaannya makin langka ini, sebagian besar berisi karya prosa dengan berbagai topik dan tujuan. Masyarakat Batak menggunakan media tulis setidaknya untuk 3 tujuan, yaitu :

1. Ilmu kedukunan (hadatuon), Dalam penulisan sebuah pustaha yang berhak untuk menulis perihal hadatuon adalah para dukun (datu). Seorang datu merupakan penulis profesional dan juga merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi.

2. Surat menyurat (termasuk surat ancaman, biasanya ditulis oleh para Raja), Tidak semua naskah Batak ditulis oleh para datu. Beberapa tulisan lain seperti ‘Surat Ancaman’ ditulis oleh seorang raja.

3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola Mandailing), Ratapan ini biasanya membahas penderitaan si penulis yang terbuang oleh sanak saudara, kematian orang tua atau kerabat lainnya serta juga percintaan yang gagal. Ratapan juga dikenal di Toba dan Pakpak tetapi hanya sebagai tradisi lisan saja.

Kebiasaan menulis surat ancaman dan ratapan ini menunjukkan bahwa pada masa lampau tidak hanya sang datu yang bisa menulis dan membaca. Kemungkinan besar, angka kemelekhurufan di zaman prakolonial (sebelum orang Barat datang) telah mencapai 30--50% dari kaum laki-laki. Meskipun demikian, hanya sang datu lah yang mampu menulis pustaha. Mereka adalah penulis profesional sekaligus merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas yang paling tinggi. Seorang murid (sisean) sering merantau jauh agar dapat berguru kepada seorang datu yang terkenal. (Uli Kozok,1999:16--17).

Salah satu koleksi pustaha yang disimpan di Perpustakaan Nasional bernomor D2 misalnya, diceritakan bahwa penulis pustaha tersebut yang berasal dari Pangaribuan di daerah Habinsaran, merantau sampai ke dataran tinggi Karo untuk berguru pada seorang datu terkenal yang juga menjadi raja (Sibayak) di Kampung Kuta Bangun. (Uli Kozok,1999:17). Datu tersebut bernama Si Beak Hutabangun. Naskah pustaha ini dalam keadaan baik, ditulis diatas kayu alim, berukuran 21,5 x 12,5 cm, berjumlah 124 halaman terdiri dari 11 baris, dengan 8 buah ilustrasi tinta merah dan hitam. Manuskrip ini membahas 5 tata cara kebiasaan di lingkungan masyarakat Batak pada masa dahulu kala, tabas (mantra), acara mencuci rambut jika berwajah pucat, hitam dan dalam keadaan sedih, cara menolak hal-hal yang tidak baik atau jika hendak disakiti orang, akibat-akibat yang terjadi dilihat dari letak dan jatuhnya suatu benda, dan petunjuk menundukkan pihak lawan atau musuh. Pustaha ini disajikan dalam bentuk prosa, berbahasa dan beraksara Batak (www.digilib.pnri.go.id/collection).

Secara garis besar, Pustaha Laklak pada intinya berisi tentang hal-hal yang menyangkut ilmu kedukunan (hadatuon) (www.mandosi.wordpress.com). P.Voorhoeve dan L.Manik yang meneliti 461 pustaha di beberapa perpustakaan di Eropa, seperti yang dikutip oleh Uli Kozok, membagi ilmu hadatuon (www.mandosi.wordpress.com), di antaranya :

1. Ilmu hitam (Pangulubalang, Pamunu Tanduk, Gadam, dan lain-lain)

2. Ilmu putih (Pagar, Sarang Timah, Porsimboraon, dan lain-lain)

3. Ilmu lain-lain (Tamba Tua, Dorma, Parpangiron, dan lain-lain)

4. Obat-obatan

5. Nujum,

− dengan Perbintangan (Pormesa na sampulu dua, panggorda na ualu, pane na bolon, porhalaan, dan sebagainya)

− dengan memakai binatang (Aji nangkapiring, Manuk Gantung, Porbuhiton, dan sebagainya)

− nujum lain-lain (Rambu Siporhas, Panampuhi, Hariara Marsundung dilangit, Parombunan, dan sebagainya)

Dalam penulisan pustaha, para datu menggunakan sebuah ragam bahasa yang lazim disebut hata poda. Kata poda (pědah di dialek utara) dalam bahasa sehari-hari diartikan sebagai nasehat, tetapi dalam pustaha diartikan lebih mendekati instruksi atau petunjuk. Ragam hata poda yang hanya ada di pustaha merupakan sejenis dialek kuno rumpun bahasa Batak Selatan dan banyak bercampur dengan kata-kata yang dipinjam dari bahasa Melayu. Karena kekunoannya, dialek tersebut juga menjamin bahwa hanya seorang datu yang dapat mengerti isi pustaha. Kerahasiaan ini merupakan salah satu sebab isi pustaha sangat sukar dimengerti dan petunjuk-petunjuk yang diberikan pada umumnya hanya dapat dipahami oleh seseorang yang sudah memiliki pengetahuan mendalam mengenai masalah yang dibicarakan. Walaupun seorang datu harus menguasai bahasa poda sebelum ia mulai menyusun sebuah pustaha, hal itu tidak berarti bahwa bahasa yang dipakai pada pustaha- pustaha adalah murni hata poda. Tentu banyak kata dari masing-masing daerah ikut memperkaya bahasa yang dipakai dalam pustaha. (Uli Kozok,1999 :17--18).

Apabila dilihat dari segi aksaranya, penulisan pustaha menggunakan aksara Batak. Aksara/huruf Batak atau disebut “Surat Batak” adalah huruf-huruf yang dipakai dalam naskah-naskah asli suku Batak (Toba, Angkola/Mandailing, Simalungun, dan Karo). Aksara Batak dibagi menjadi 2 yaitu:

1. Ina ni surat

semua ina ni surat berakhir dengan bunyi /a/. Bunyi ini dapat diubah dengan menambah nilai fonetiknya. Terdapat urutan aksara dalam ina ni surat, di antaranya: a-ha-na-ra-ta- ba-wa-i-ma-nga-la-pa-sa-da-ga-ja. Namun urutan ini adalah ciptaan baru dan tidak memiliki landasan tradisional.

2. Anak ni surat

Anak ni surat merupakan pengubah yang disebut diakritik. Diakritik dalam anak ni surat diantaranya: bunyi /e/ atau disebut ‘hatadingan’, bunyi /ng/ atau disebut ‘paminggil’, bunyi /u/ atau disebut ‘haborotan’, bunyi /i/ atau disebut ‘hauluan’, bunyi /o/ atau disebut ‘sihora’ atau ‘siala’, tanda mati untuk menghilangkan bunyi /a/ pada ina ni surat atau disebut ‘pangolat’.

b. Perkembangan Fungsi dan Makna Pustaha Laklak

Masyarakat Batak mengenal adanya mitos Si Boru Deak Parujar. Mitos ini berbentuk syair sastra lisan yang panjang dan indah yang menceritakan asal mula adanya manusia di tanah Batak. Mitos ini bermula dari seorang puteri Batara Guru yang bernama Si Boru Deak Parujar yang ingin melarikan diri karena dipaksa menikah oleh Batara Guru. Batara Guru merupakan aspek pertama dari Mulajadi Na Bolon sebagai Trimurti. Mulajadi Na Bolon mencakup tritunggal yaitu: Dewa Batara Guru, Dewa Soripada, dan Dewa Mangalabulan. (Situmorang,2004:24). Dalam pelariannya Deak Parujar melihat adanya 3 lapis jagad raya, diantaranya:

a. Banua Ginjang (Benua Atas) yaitu langit, tempat Deak Parujar, Batara Guru, dan Dewa lainnya tinggal, yang disimbolkan dengan warna putih;

b. Banua Tonga (Benua Tengah), disimbolkan dengan warna merah;

c. Banua Toru (Benua Bawah), disimbolkan dengan warna hitam.

Setelah mengalami berbagai peristiwa, akhirnya Deak Parujar hidup di tanah yang nantinya akan menjadi bumi tempat dia dan keturunannya tinggal. Dalam tradisi lisan, masa Deak Parujar (7 keturunan) disusul oleh masa Si Raja Batak. Dari masa mitos ini kemudian beralih ke masa historis (silsilah manusia biasa/jolma). Pada perkembangan selanjutnya muncullah adanya marga-marga dalam suku Batak. Mitos-mitos lisan inilah yang ditanamkan dari generasi ke generasi.

Masyarakat Batak memang jarang menuliskan beberapa kejadian dalam bentuk sebuah tulisan. Hanya beberapa hal tertentu saja yang dituliskannya pada sebuah media, salah satunya dalam bentuk pustaha. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, orang Batak menggunakan tulisannya hanya untuk 3 tujuan, yaitu: ilmu kedukunan (hadatuon), surat menyurat (termasuk surat ancaman, biasanya ditulis oleh para Raja), dan ratapan.

Pustaha Laklak dikenal jauh sebelum pengaruh Islam dan kolonial datang ke wilayah Sumatera. Pada masyarakat yang masih mengenal kepercayaan alam, Pustaha Laklak digunakan untuk ilmu-ilmu kedukunan (hadatuan). Namun ketika pengaruh Islam dan kolonial masuk ke wilayah Sumatera, keberadaan pustaha ini makin lama makin berkurang. Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh Islam dan Kristen yang membawa kepercayaan baru. Uli Kozok (1999:19) dalam tulisannya Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara Batak dijelaskan bahwa pada waktu ahli bahasa Belanda Herman Neubronner van der Tuuk mengadakan perjalanan ke Sipirok pada tahun 1852, beliau telah mencatat bahwa daerah tersebut sangat kekurangan pustaha, datu, dan babi sebagai akibat masuknya agama islam ke daerah tersebut. Enam tahun sebelumnya, Willer seorang civiel gezaghebber (pegawai pamongpraja) di Mandailing, juga sudah menulis bahwa di daerah Portibi dan Angkola tidak lagi terdapat pustaha, sedangkan di Mandailing sudah menjadi sangat jarang. Dijelaskannya bahwa kaum Padri berusaha sedapat-dapatnya untuk memusnahkan pustaha-pustaha tersebut. Ternyata bukan kaum Padri saja yang benci pada produk-produk para datu. Penginjil-penginjil Jerman bersama dengan pendeta-pendeta pribumi memilih jalan yang sama dan secara besar-besaran mereka membakar pustaha. Pada tahun 1920-an agama Kristen sudah memasuki daerah-daerah pedalaman termasuk Samosir, Dairi, dataran tinggi Karo dan Simalungun. Walaupun kebanyakan penduduk di daerah tersebut saat itu masih bertahan pada agama nenek moyangnya, bisa dipastikan bahwa pada waktu itu sudah hampir tidak ada lagi datu yang menulis pustaha.

Masyarakat Batak bukan merupakan masyarakat yang hidup terisolir karena dibatasi oleh kondisi geografis yang berbukit-bukit. Sistem adaptasi dan budaya yang berlaku memperlihatkan adanya interaksi dan akulturasi yang lama dengan peradaban-peradaban besar yang ada di Asia Tenggara. (Situmorang, 2004: xiv). Dengan adanya pengaruh luar yang datang ke wilayah Batak, mengakibatkan adanya proses ‘revolusi kebudayaan’ di tanah Batak (Situmorang, 2004:11), yang mengakibatkan:

1. Perubahan orientasi geografis dari pesisir barat beralih ke pesisir timur;

2. perubahan spiritual dari gagasan dunia akhirat agama asli beralih ke teologi Islam dan Kristen;

3. perubahan cara berfikir yang banyak terpengaruh mitologi dan paham magic, beralih ke pemikiran rasional-ilmiah;

4. perubahan dari ekonomi yang murni agraris dan tertutup ke arah cita-cita kemajuan (hamajuon) membuka pintu dan menyambut jaman baru (modern).

Adanya revolusi kebudayaan inilah yang mengakibatkan berkurangnya bukti-bukti kepercayaan masyarakat Batak ketika belum mendapat pengaruh asing. Keberadaan pustaha laklak pun semakin berkurang. Banyak pustaha yang dihancurkan karena dianggap sesat. Hal ini disebabkan karena perubahan cara berfikir masyarakat yang banyak terpengaruh oleh kepercayaan yang dibawa oleh pihak asing. Sampai saat ini keberadaan pustaha laklak sangat langka karena sebagian besar sudah dimusnahkan dan banyak di antaranya yang dibawa ke Eropa. Sebagian kecil lainnya disimpan di Museum Sumatera Utara serta sebagai koleksi di Perpustakaan Nasional.

Meskipun saat ini tidak ada lagi datu yang menuliskan pustaha, namun bagi masyarakat Batak pustaha masih dianggap sakral dan suci. Dalam konteks yang berbeda dengan para datu di beberapa pengrajin tanah Toba mencoba mereproduksi Pustaha Laklak dalam format yang berbeda tentunya. Pengrajin-pengrajin ini menyalin beberapa aksara Batak dalam sebuah lembaran kayu alim. Tidak ada unsur sakral ataupun suci seperti yang sering dilakukan para datu dalam menuliskan pustaha pada masa lalu.

3. Keberadaan Souvenir Pustaha Laklak, Sebuah Pelestarian Budaya Batak

Di beberapa tempat objek wisata khususnya di sekitar Danau Toba, sering kita melihat beberapa toko menjual beraneka ragam souvenir, yang salah satunya berupa Pustaha Laklak. Souvenir ini berupa lembaran-lembaran kertas yang dibuat dari kulit kayu alim yang dilipat-lipat. Lembaran-lembaran ini ditutup dengan kayu tebal yang diukir dengan relief binatang-binatang (biasanya binatang cicak). Lembaran-lembaran dari souvenir Pustaha Laklak ini dipenuhi dengan aksara-aksara Batak yang disertai dengan beberapa gambar sehingga hampir mirip dengan aslinya. Namun kalau diteliti lebih jauh tulisan-tulisan yang terdapat dalam lembaran-lembaran tersebut hanya berupa goresan saja dan tidak dapat dibaca seperti halnya Pustaha Laklak (yang asli).

Meskipun saat ini Pustaha Laklak dibuat dengan tujuan yang berbeda namun keberadaan pustaha ini dulu memiliki makna penting bagi masyarakat setempat. Pustaha Laklak merupakan hasil karya sastra Batak kuno yang saat ini keberadaannya sangat langka. Selain banyak yang dihancurkan karena pengaruh budaya asing dalam hal ini pengaruh Islam dan Kristen, kelangkaan Pustaha laklak juga disebabkan karena sebagian besar banyak yang dibawa ke Eropa. Hanya sebagian kecil saja yang tersisa yang kini masih tersimpan di Museum Sumatera Utara dan Perpustakaan Nasional di Jakarta.

Souvenir Pustaha Laklak dapat dijumpai di beberapa tempat terutama di sekitar wilayah objek wisata seperti Danau Toba dan Brastagi. Selain itu, beberapa toko souvenir di Medan yang mencoba menjadi distributor pustaha dimana pemiliknya mengambil stok langsung dari para pengrajin pustaha di daerah Toba.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan souvenir Pustaha Laklak terbuat dari kulit kayu alim, sebuah pohon yang tumbuh di kawasan hutan dataran tinggi. Pohon alim (Aquilaria) banyak dijumpai di daerah Barus hulu, di sekitar Pardomuan, Kabupaten Dairi dan juga di daerah Pulau Raja, Kabupaten Asahan. Adapun alat tulisnya menggunakan tulang kerbau dan tinta hitam. Agar souvenir lebih mudah terjual dan terlihat lebih antik, laklak diolesi zat pewarna yang disebut permagan (kalium permanganat) (Uli Kozok, 1999: 34-35).

clip_image004

Terdapat beberapa hal yang patut disayangkan dalam produksi souvenir Pustaha Laklak. Kebanyakan Pustaha Laklak dan naskah-naskah yang dijual di Medan, Parapat, Brastagi dan Samosir adalah naskah tiruan yang teksnya hanya terdiri atas rangkaian huruf-huruf yang tidak berarti. Setelah di cek ke kampung pembuatannya seperti Sosor Tolong, yang jaraknya sekitar 5 km dari Tomok, ternyata para pengrajin hanya bisa menulis beberapa huruf saja, tetapi tidak mengerti artinya. Hasilnya adalah sebuah naskah yang teksnya dikarang oleh orang yang buta huruf yang kemudian dijual kepada masyarakat sebagai hasil ciptaan budaya Batak. (Uli Kozok,1999:31--32)

Souvenir Pustaha Laklak

Penjualan souvenir Pustaha Laklak ini dapat dikatakan sangat minim. Hanya beberapa buah saja yang dijual di beberapa toko di tempat-tempat objek wisata. Medan, sebagai ibu kota Sumatera Utara, tempat pertama kali wisatawan datang baik dengan sarana udara, laut maupun darat ternyata masih kurang menyediakan pengadaan souvenir Pustaha Laklak maupun souvenir-souvenir khas Batak lainnya. Seperti yang bisa kita jumpai di kawasan Kesawan Square, di jalan Ahmad Yani, hanya terdapat tiga toko saja yang menyediakan souvenir-souvenir khas Batak. Souvenir khas Batak yang sering dijajakan kebanyakan berupa kain ulos, hiasan-hiasan dinding seperti miniatur rumah Batak, gantungan kunci, kaos-kaos khas Medan, dan beberapa kerajinan tangan lainnya.

Dalam penyediaan stok barang souvenir Pustaha Laklak atau sering dikenal dengan nama “buku Batak”, masih sangat sedikit dan tidak setiap waktu bisa didapatkan. Setiap toko menyediakan tidak kurang dari sepuluh biji dengan beraneka ukuran dan harganya. Souvenir Pustaha Laklak yang dijual berkisar antara harga Rp.80.000 sampai dengan Rp.150.000 tergantung pada ukuran dan ketebalannya. Konsumen yang berminat membeli souvenir Pustaha Laklak ini kebanyakan wisatawan dari mancanegara. Adapun wisatawan domestik sendiri kurang begitu meminati souvenir ini. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat pentingnya keberadaan Pustaha Laklak yang kini sudah sangat langka ditemukan.

Dalam hal kualitas, apabila dilihat dari isinya, pembuatan Pustaha Laklak ini masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, ide kreatif dari para pengrajin ini sangat inovatif. Meskipun mereka kurang atau tidak paham dalam menulis sebuah pustaha, namun paling tidak terdapat upaya untuk melestarikan warisan leluhur mereka. Dengan adanya pembuatan souvenir Pustaha Laklak ini, selain untuk meningkatkan perekonomian para pengrajin, juga sebagai ajang pengenalan kepada masyarakat umum tentang keberadaan Pustaha Laklak. Dengan demikian, masyarakat baik itu di wilayah Sumatera Utara maupun di luar Sumatera Utara memiliki antusiasme untuk mengenal dan mempelajari warisan nenek moyang masyarakat suku Batak, baik itu Batak Toba, Karo, Simalungun, Mandailing (Angkola), Dairi maupun Pakpak.

4. Penutup

Industri kreatif merupakan industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan, serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan kerja dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta industri tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai sebuah peluang untuk mengembangkan ide-ide kreatif yang nantinya dapat menjadi komoditas industri berkaitan dengan kekayaan budaya masyarakat setempat. Salah satu bentuk industri kreatif tersebut tertuang dalam pembuatan souvenir Pustaha Laklak.

Keberadaan Pustaha Laklak yang kini sudah sangat langka dan jarang sekali ditemukan karena sebagian besar warisan budaya Batak ini dibawa ke Eropa sehingga hanya beberapa saja yang kini kita miliki, perlu adanya pengembangan ide untuk menciptakan dan melestarikan keberadaanya. Meskipun tidak dalam bentuk aslinya, namun keberadaan souvenir pustaha laklak ini bisa memberikan sedikit pengetahuan kepada masyarakat tentang keberadaan pustaha di Sumatera Utara. Dengan adanya pembuatan souvenir Pustaha Laklak diharapkan mampu meningkatkan kecintaan kita terhadap warisan budaya dan ada upaya untuk melestarikannya.

Salah satu upaya melestarikan Pustaha Laklak adalah dengan mempelajarinya. Pembuatan souvenir pustaha dapat dijadikan motivator bagi kita untuk lebih banyak mempelajari budaya- budaya bangsa dan tidak melupakannya. Diharapkan juga para pengrajin-pengrajin souvenir Pustaha Laklak lebih banyak mempelajari aksara-kasara dan bahasa-bahasa Batak kuno sehingga dalam pembuatan souvenir pustaha, mereka dapat meningkatkan kualitas isinya. Selain itu, perlu juga peningkatan jumlah pengrajin yang profesional agar mampu meningkatkan kualitas souvenir Pustaha Laklak. Namun demikian, pengrajin-pengrajin pustaha sudah sangat inovatif dan kreatif dalam upaya melestarikan budaya mereka.

Kepustakaan

Endarmoko, Eko, 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kozok, Uli, 1999. Warisan Leluhur (Sastra Lama dan Aksara Batak). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Peranginangin, Sekula, Drs. 1999/2000. Katalog Pustaha Laklak Koleksi Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. Medan: Depdikbud Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Sumatera Utara, Museum Negeri Sumatera Utara.

Prasodjo, Tjahjono, 2004. Arkeologi Publik, dalam Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi

Tingkat Dasar. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Purba, Suruhen, Drs. 1998/1999. Alih Aksara dan Bahasa Naskah Kuno-Batak Toba Pangulubalang Sihirput. Medan: Depdikbud Bag. Proyek Pengembangan Permuseuman Propinsi Sumatera Utara.

Setianingsih, Rita Margaretha dan Suruhen Purba. 2002. Desa Na Ualu Dan Bindu Matoga, Keindiaan Ragam Hias Di Tanah Batak, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 10. Medan : Balai Arkeologi Medan, hal. 31--44

Simanjuntak, BA, 1986. Peranan Kebudayaan Batak di Tengah Masyarakat Majemuk, dalam

Pemikiran Tentang Batak. Medan : Universitas HKBP Nommensen.

Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae (Sejarah Lembaga Sosial Politik abad XIII-XX). Jakarta: Komunitas Bambu.

Soedewo, Ery. 2005. Pendekatan Glotokronologi Dalam Kajian Linguistik Bagi Pengenalan Kala Pisah Batak Toba dan Batak Mandailing, dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 14. Medan: Balai Arkeologi Medan.

Tambunan, Anggur P., St. Drs, 1986. Kajian Sastra Batak, dalam Pemikiran Tentang Batak. Medan: Universitas HKBP Nommensen, hal. 242--259

Vergouwen, J.C., 2004. Masyarakat Dan Hukum adapt Batak Toba. Yogyakarta : PT. LKiS Pelangi Aksara.

Wiradnyana, Ketut dan Lucas Partanda Koestoro, 2005. Situs dan Objek arkeologi di Kab. Samosir Prop. Sumatera Utara dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 14. Medan : Balai Arkeologi Medan.

http://www.depkop.go.id/berita/media-massa/kemenkop-depdag-kerjasama-dorong-industri- kreatif.html

http://www.digilib.pnri.go.id/collection

http://www.ekonomikreatif.blogspot.com/2008/04/berbagai-sudut-pandang-tentang-ekonomi.html

http://www.hawaii.edu/indolang/manuscripts/Batak/beloit/index.html

http://www.mandosi.wordpress.com/2007/01/15/surat-batak-dan pustaha/

http://www.metmuseum.org/works_of_art/collection_database/arts_of_africa_oceania_and_the_americas/book_of_ritual_knowledge_pustaha

http://www.stores.maryantiques.com/Cart.bok

LATAR BELAKANG PENULISAN PRASASTI TANDIHAT 2 PADA PAHA KIRI DEPAN ARCA SINGA

churmatin nasoichah

Abstract

One of the Buddhist inscriptions which discovered in Sumatera is Tandihat II inscription. Between inscription it self with the lion statue as a medium, certainly have a special connection.

Kata Kunci: Prasasti, Buddha, Arca Singa

I. Pendahuluan

Prasasti merupakan bukti tertulis dari masa lampau yang berperan penting dalam penyusunan sejarah Indonesia kuna. Pembuatan prasasti berkaitan langsung dengan peristiwa tertentu. Selain itu terdapat beberapa hal yang tersurat maupun tersirat di dalam isi prasasti, antara lain agama, prosesi keagamaan, penetapan sīma, perdagangan, struktur birokrasi, kehidupan sosial politik, hukum, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa mayoritas informasi pada masa Hindu-Buddha didapat berdasarkan proses penyadapan yang dilakukan atas apa yang tertulis pada prasasti, sesuai dengan hakekat data tekstual. Hal ini dapat dipahami melalui telaah yang mendalam tentang isi prasasti.

Di lain pihak, media tempat prasasti tersebut dituliskan, juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Media yang dipakai suatu prasasti dapat pula menentukan makna yang terkandung dalam isi prasasti itu sendiri. Beberapa media yang sering digunakan dalam penulisan sebuah prasasti di antaranya berbahan batu yang biasa disebut prasasti batu (upala prasasti), berbahan tembaga atau disebut prasasti tembaga (tamra prasasti), berbahan lontar atau prasasti lontar (ripta prasasti), dan berbahan emas atau prasasti emas (mas prasasti). Apabila dilihat melalui bentuknya, media yang digunakan dalam penulisan prasasti bermacam-macam, antara lain berbentuk persegi, lempengan, batu alam utuh, arca,stupika serta lembaran. Secara eksternal, faktor keletakan juga turut menentukan makna prasasti. Dengan demikian, antara konteks keletakan, isi, dan media yang digunakan dalam penulisan prasasti saling berhubungan dan tidak dapat dipisah-pisahkan dalam suatu analisis prasasti.

Pada masa pengaruh Hindu-Buddha, arti penting prasasti tidak dapat disangsikan lagi dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Bahasa yang pada masa itu digunakan dalam penulisan prasasti antara lain bahasa Sansekerta, serta bahasa-bahasa yang merupakan rumpun bahasa Austronesia diantaranya Bahasa Jawa Kuna, Melayu Kuna, Batak Kuna, Bali Kuna, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini, banyak prasasti ditemukan di Pulau Bali, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Salah satu prasasti yang ditemukan di Sumatera adalah Prasasti Tandihat II.

Prasasti Tandihat II ditemukan di Biaro Tandihat II, Desa Tandihat, Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan. Saat ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. Prasasti Tandihat II dipahatkan pada batu arca singa, tepatnya pada paha kiri depan arca singa tersebut. Prasasti ini tergolong prasasti pendek yang terdiri dari tiga kata dan ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Ketiga suku kata tersebut berbunyi budha i swakarmma (Setianingsih,2003:8–9). Sampai saat ini belum diketahui hubungan antara ketiga kata tersebut dengan arca singa yang menjadi media penulisan prasasti. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada umumnya membahas tentang isi prasasti Tandihat II yang dikaitkan dengan perkembangan sekte Vajrayana pada masa itu. Pada kesempatan ini akan dibahas tentang hubungan antara prasasti Tandihat II dengan arca singa yang menjadi media penulisan prasasti yang kemudian dikaitkan dengan konsep arsitektural dalam pembangunan sebuah bangunan suci.

II. Deskripsi Prasasti Tandihat II

Prasasti Tandihat II ditemukan satu konteks dengan Biaro Tandihat II, tetapi patut disayangkan bahwa arca singa tersebut ditemukan tidak in situ lagi. Biaro Tandihat II yang terletak di Situs Padang Lawas ini berupa runtuhan bangunan yang tertimbun tanah. Survei pada tahun 1994 di daerah aliran sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di situs Tandihat II, berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan. Bangunan Biaro Tandihat II ini menghadap ke arah timur dengan tangga naik dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batu pasir ditemukan juga di antara runtuhan bangunan tersebut (Tim penelitian Arkeologi,1995:47–48).


 

Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, Prasasti Tandihat II tergolong prasasti pendek yang terdiri dari tiga kata yang berbunyi buddha i swakarmma yang diterjemahkan dengan ‘buddha dengan sebab akibat sendiri untuk penderitaan dan kebahagiaan’. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna dan berbahasa Jawa Kuna (Setianingsih dkk.,2003:8–9). Ketiga kata dalam prasasti ditempatkan secara horisontal pada paha kiri depan arca singa yang berdiri vertikal. Tidak terdapat angka tahun, nama seseorang yang menerbitkan prasasti (nama raja / penguasa wilayah) ataupun yang menuliskan prasasti (citralekha). Apabila dilihat dari paleografi aksara yang digunakan, kemungkinan prasasti ini berasal dari abad XII-XIV (Setianingsih,2003:8).

Prasasti Tandihat II dipahat dengan cukup baik, dalam arti, mempunyai kedalaman goresan yang cukup sehingga setiap aksara yang terpahat pada permukaan bidang pahat dapat diidentifikasi dengan mudah. Aksara-aksara yang terpahat dituliskan tidak terlalu besar tetapi dapat terbaca dengan mudah yaitu dengan panjang keseluruhan deretan aksaranya 9 cm dan masing-masing aksara memiliki ukuran 1 x 1,5 cm.

Arca singa, tempat pertulisan tersebut dipahatkan saat ini dalam kondisi rusak. Kepala arca telah hilang, hanya menyisakan lapik arca, badan beserta keempat kakinya. Arca singa ini secara keseluruhan berukuran 46 x 40 cm. Bagian lapiknya berdenah bujur sangkar dengan sisi-sisi 28 x 28 cm dan tinggi 10 cm. Di bagian atas lapik terdapat lapik bermotif sulur dengan diameter 28 cm dan tinggi 6 cm. Sedangkan bagian arca singa itu sendiri memiliki tinggi 30 cm dengan panjang 40 cm dan lebar 23 cm. Singa dalam hal ini digambarkan dalam posisi duduk, kedua kaki belakangnya dilipat, sementara kaki depan tegak. Bagian belakang tubuh singa telah aus dan tidak terdapat adanya indikasi penggambaran ekor. Singa tersebut digambarkan bertubuh gempal dengan perut buncit.

Arca singa duduk di atas lapik berbentuk persegi yang telah aus bagian tepiannya. Surai digambarkan lebat, panjangnya sampai ke pangkal paha kaki depan. Keempat pergelangan kaki singa memakai nupura (gelang kaki) yang berbentuk lingkaran tebal, polos dan berjumlah satu lapis. Di bawah arca singa tersebut, tepatnya di antara kedua kaki depan, terdapat pahatan berbentuk singa dalam ukuran yang lebih kecil dengan tinggi 12 cm dan lebar 9 cm. Arca singa yang berukuran kecil tersebut digambarkan dalam posisi duduk dengan kaki belakang terlipat. Kaki kiri depan menopang berat badan, dijulurkan lurus ke bawah, sedangkan kaki kanannya diangkat ke atas dengan telapak kaki setinggi mata. Arca ini cenderung lebih utuh apabila dibandingkan dengan arca singa yang pertama. Kepala arca digambarkan detil, lengkap dengan mata, hidung, mulut, telinga, dan surai/ rambut. Mata singa digambarkan bulat melotot dengan kening ditonjolkan. Telinga berbentuk segitiga sama kaki, tegak meruncing ke atas. Mulut singa menganga lebar lengkap dengan deretan gigi dan taring yang menonjol. Surai singa digambarkan lebat, dengan tubuh gempal. Telapak kaki dan sebagian lengan depan arca singa tersebut telah aus sehingga sulit diidentifikasi adanya hiasan atau semacamnya. Secara keseluruhan, arca singa yang berukuran lebih kecil duduk di atas lapik yang sama dengan arca singa yang berukuran lebih besar.

III. Telaah isi Prasasti Tandihat II

Pengaruh adanya Hindu-Buddha di Nusantara salah satunya terlihat dengan adanya prasasti-prasasti yang beraksara Palawa. Namun dalam perkembangannya, aksara Palawa ini mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan tempat dimana aksara tersebut berkembang sehingga perkembangan aksara ini dapat dikatakan sebagai aksara pasca-Palawa. Aksara pasca-Palawa yang merupakan aksara turunan dari aksara Palawa, berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara. Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang antara lain digunakan dalam prasasti-prasasti Sriwijaya yang kebanyakan berasal dari abad ke-7. Karena jumlah prasasti di Sumatera dan juga di kawasan berbahasa melayu sangat sedikit, maka tidak jelas bagaimana sejarah perkembangan aksara Sumatera di antara zaman Sriwijaya sampai pada masa Adityawarman di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca-Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura dan Bali sehingga pada abad ke-14 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang antara lain mencakup aksara yang digunakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Melayu di zaman Adityawarman (Uli Kozok,2006:67–68).

Aksara yang digunakan dalam penulisan Prasasti Tandihat II juga merupakan aksara pasca-Palawa dan karena prasasti ini ditemukan di Sumatera bisa dikatakan prasasti Tandihat II menggunakan aksara Melayu Kuno. Namun ada pula yang mengatakan bahwa prasasti ini menggunakan aksara Jawa Kuno karena bentuk aksaranya yang sama dengan bentuk aksara Jawa Kuno. Menurut De Casparis, terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa Kuno sebetulnya berasal dari Sumatera, karena sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua ditemukan di Sumatera. Oleh karena itu, dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuno dengan aksara Sumatera Lama belum diketahui dengan sempurna, maka De Casparis (1975:57) memilih istilah aksara Melayu, yang khususnya ia gunakan untuk aksara pasca-Palawa yang terdapat di prasasti-prasasti Adityawarman (Uli Kozok,2006:47).

Mengenai pemakaian bahasa, dalam pembahasan Prasasti Tandihat II ini perlu adanya pemilahan pada tiap katanya. Satu kalimat buddha i swakarmma yang terbaca dari Prasasti Tandihat II dapat diuraikan menjadi tiga kata. Kata buddhadalam prasasti tersebut dapat menunjuk pada nama diri seseorang, nama gelar, ataupun menunjuk pada ajaran agama Buddha itu sendiri yang merupakan kata serapan dari Bahasa Sansekerta. Satu hal yang cukup jelas, kata buddhamemberikan sebuah petunjuk bahwa terdapat pengaruh agama Buddha dalam penulisan prasasti tersebut ataupun pada Biaro Tandihat II itu sendiri. FDK. Bosch dalam tulisannya menyebutkan bahwa masyarakat pendukung biaro di Situs Padang Lawas adalah pemeluk agama Buddha aliran vajrayana yaitu salah satu bentuk sinkretisme agama Buddha dan Hindu, namun unsur agama Buddha lebih dominan dari pada agama Hindu (Schitger,1936). Pendapat ini didasarkan pada temuan artefak berupa arca dan relief pada Biaro Bahal I yang menggambarkan wajah-wajah raksasa yang menyeramkan serta prasasti-prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra tantris (Bosch,1930, dalam Suleiman,1985). Selain itu, Schnitger juga berpendapat bahwa di Padang Lawas terdapat tiga kelompok candi yang mempunyai sifat Buddha Tantrayana, yaitu Candi Sisangkilon, Sijoreng Belangah (Tandihat I & II) serta Candi Sipamutung (Schnitger,1936).

Adapun kata i dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna merupakan kata depan (preposisi) yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi di, didalam, dengan, ke, kepada, oleh, dari, sampai, tentang, terhadap dan sebagainya (Kamus Kawi-Indonesia,1997:109). Selain Bahasa Jawa Kuno, kata i juga dijumpai dalam Bahasa Pakpak yang diartikan; itu, di, dalam (Kamus Pakpak Indonesia,2002:145).

Di dalam Bahasa Jawa Kuna kata Svakarmma dapat diuraikan menjadi dua buah kata yaitu kata sva atau swa dankarmma. Kata sva atau swa berarti milik sendiri atau sendiri (Kamus Kawi-Indonesia,1997:255). Menurut Zoetmulder,karmma atau karma berarti tindakan, pekerjaan, perbutan (baik atau buruk) yang mengakibatkan hasil yang tidak dapat dielakkan pada masa dulu; juga buah itu sendiri; (dulu kata majemuk) segala tindakan atau ritus religi (upacara, korban, pesta) (Zoetmulder,1995:465). Apabila kata sva dan karmma ini digabungkan menjadi svakarmma maka berarti karyanya (sendiri), kondisi yang disebabkan perbutan-perbuatannya (pada masa lalu) (Zoetmulder,1995:1167). Adapun dalam Bahasa Sansekerta, menurut Online Sanskrit Dictionary (http//sanskrit.gde.to/:214) kata svakarma berarti di dalam tugasnya sendiri. Kata svakarmma dalam Bahasa Jawa Kuna merupakan adopsi dari bahasa Sansekerta. Oleh sebab itu, arti kata svakarmma dalam Bahasa Sansekerta serta dua kata sva dan karmma dalam Bahasa Jawa Kuna tidak terdapat perbedaan makna yang begitu signifikan.

Dalam ajaran agama Buddha dikenal adanya pandangan yang benar tentang karma yaitu semua makhluk memiliki karmanya sendiri; Semua makhluk adalah ahli waris dari karmanya sendiri; Semua makhluk lahir dari karmanya sendiri; Semua makhluk adalah keluarga dari karmanya sendiri; Semua makhluk ditopang oleh karmanya sendiri karma apa saja yang dibuatnya, yang baik atau buruk, terhadap itu ia akan menjadi ahli warisnya. (http://www.walubi.or.id /wacana/wacana_081.shtml).

Dari keterangan diatas, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam penulisan prasasti Tandihat II adalah berbahasa Austronesia yaitu bahasa-bahasa yang digunakan di Nusantara dan apabila dikaitkan dengan letak prasasti tersebut ditemukan, maka dapat juga dikatakan bahwa prasasti Tandihat II berbahasa Melayu Kuno. Meskipun kataBuddha dan svakarmma merupakan kata serapan dari Bahasa Sansekerta, namun dengan adanya kata i yang merupakan preposisi dari kalimat prasasti tersebut, dan dalam Bahasa Sansekerta tidak dijumpai adanya pola pemakaian kata i, maka jelas bahwa kalimat prasasti Tandihat II tidak berbahasa Sansekerta. Berdasarkan uraian di atas, secara keseluruhan kata buddha i svakarmma yang terpahat Pada Prasasti Tandihat II, dapat diartikan sebagaiBuddha dengan perbuatan (karma) nya sendiri.

IV. Kaitan antara penempatan prasasti dengan arca singa

Pada umumnya sebuah prasasti batu yang didirikan dan berkaitan dengan bangunan suci berisi tentang peringatan peresmian pembangunan bangunan suci, batas-batas keletakan beserta aspek-aspek sosial bangunan suci yang ditetapkan sebagai tanah sima, nama bangunan suci, tujuan didirikan beserta raja yang mendirikannya, susunan bangunan-bangunan yang terdapat dalam kompleks bangunan suci, latar belakang keagamaan, tanggal didirikannya bangunan suci, dan berbagai hal yang berhubungan langsung dengan bangunan suci tersebut.

Sebagai prasasti yang memuat segala informasi yang berkaitan dengan bangunan suci, biasanya diletakkan di sekitar bangunan suci tersebut, di tempat-tempat yang mudah terlihat, karena prasasti tersebut ditujukan sebagai tanda peringatan oleh para pengguna bangunan suci. Aksara-aksara dan penempatan aksara pada bidang pahat prasasti juga harus mudah terlihat dan jelas. Berbeda dengan Prasasti Tandihat II. Apabila dilihat dari sudut pandang komunikasi media, aksara-aksara dan bidang pahat prasasti tidak begitu menguntungkan dan memungkinkan untuk digunakan sebagai prasasti yang bersifat informatif dan ditujukan untuk khalayak. Selain itu, isi dari prasasti ini juga juga tidak secara langsung menunjuk atau menyebut tentang hubungannya dengan bangunan suci. Isi prasasti memang dapat dihubungkan dengan konsep kepercayaan suatu bangunan suci, tetapi tidak secara langsung berhubungan dengan bangunan suci. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Prasasti Tandihat II memang tidak ditujukan untuk kepentingan yang bersifat informatif, tetapi mempunyai tujuan lain yang tentunya berkaitan dengan arca singa, tempat prasasti tersebut digoreskan.

Pada masa lalu pemujaan terhadap binatang merupakan gejala budaya yang bersifat universal. Salah satu binatang yang memiliki peranan penting dalam tradisi kebudayaan adalah singa. Pada masa Hindu-Buddha penggambaran singa banyak dikaitkan dengan kepercayaan adanya reinkarnasi. Selain itu motif singa juga terkait dengan simbol kepemimpinan, penguasa, dan kekuasaan. Sampai sekarangpun singa masih digunakan dan diletakkan pada pintu masuk dalam beberapa tempat peribadatan etnis cina misalnya seperti klenteng atau wihara serta makam-makam Cina.

Pada umumnya arca singa pada bangunan-bangunan candi dijadikan sebagai tokoh penjaga yang diletakkan di samping kanan/kiri pintu masuk ruang candi dalam posisi duduk dengan sepasang kaki depannya tegak mendukung beban berat badan (R.M. Susanto,1998/1999:20). Arca singa digambarkan dengan mulut menyeringai, menampakkan gigi dan taringnya, mata melotot, rambut surai sampai ke tengkuk dan leher, serta ekor terletak di atas punggung (R.M. Susanto,1998/1999:23).

Dalam sebuah bangunan candi, baik candi yang bersifat Hinduistis maupun Buddhis terdapat dua komponen arca diataranya arca inti dan arca penjaga. Komponen arca inti pada sebuah candi biasanya berupa arca-arca dewa yang diletakkan di dalam bilik (Madhya ćala), misalnya arca Siva pada salah satu kompleks candi Prambanan dan arcaVairocana pada Candi Mendut. Sedangkan arca penjaga biasanya berfungsi sebagai penjaga keselamatan dan penolak bala, sehingga para pemuja dalam melakukan upacara (ibadah) dapat merasa nyaman dan tidak mendapat gangguan. Tokoh-tokoh penjaga ini dalam peletakannya sebagian berdiri sendiri tetapi ada juga yang menjadi bagian dari bangunan candi tersebut. Tokoh-tokoh penjaga ini antara lain dalam bentuk relief yang dipahatkan pada ambang pintu (doorpel) maupun sepasang tokoh yang diletakkan di depan kanan/kiri pintu masuk. Selain itu, sering ditemukan pula sepasang tokoh penjaga yang diletakkan di kanan/kiri sisi dalam pagar pintu masuk area candi (R.M. Susanto,1998/1999:17). Adapun tokoh-tokoh penjaga ini biasanya berupa arca singa, Kala-makara, dvarapala, atau mahakala-nandisvara.

Meskipun tidak jelas keletakan arca singa terhadap biaro, dari uraian di atas bisa ditarik sebuah benang merah bahwa arca singa ini berfungsi sebagai penjaga bangunan suci yang diletakkan di depan biaro atau di depan pintu masuk halaman bangunan tersebut. Selain sebagai penjaga sebuah bangunan suci, arca singa dalam agama Buddha juga memiliki peranan yang penting. Sidharta Gautama sebelum menjadi Buddha, sering disebut sebagai ‘Singa dari keluarga Sakya’ (Sakya Simha) sehingga ‘auman Singa’ merupakan kiasan dari doktrin agama Buddha itu sendiri (http://www.khandro.net /animal_lion.htm).

V. Penutup

Melalui uraian di atas, walaupun Prasasti Tandihat II ditemukan sudah tidak dalam konteksnya semula, tapi dilihat dari media yang digunakan dalam penulisan prasasti, yaitu arca singa dapat ditarik benang merah bahwa pada umumnya keletakan arca singa berada pada pintu gerbang sebuah bangunan suci dan berfungsi sebagai penjaga bangunan suci tersebut. Kemudian dilihat dari isi prasasti yang tidak berhubungan secara langsung dengan keletakan atau pendirian suatu bangunan suci, tetapi lebih kepada sebuah pernyataan atau harapan untuk tujuan tertentu, maka dapat diinterpretasikan bahwa isi prasasti tersebut tidak ditujukan untuk khalayak. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa khalayak dilarang membaca prasasti tersebut, karena prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan aksara Melayu Kuno yang merupakan rumpun aksara pasca-Palawa dan bahasa Melayu Kuno yang merupakan rumpun bahasa Austronesia, dan merupakan bahasa sehari-hari pada saat itu, bukan bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa kaum brahmana. Dalam hal ini prasasti tersebut bukan merupakan prasasti yang bersifat rahasia seperti mantra dan yantra.

Bekaitan dengan arca singa sebagai penjaga bangunan suci dan peran pentingnya dalam agama Buddha, serta isi prasasti yang berbunyi buddha i swakarmma yang berarti Buddha dengan perbuatan (karma) nya sendiri, disimpulkan bahwa prasasti Tandihat II merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai suatu maksud yaitu selain untuk penyiaran agama Buddha, juga untuk menambah kekuatan pada arca singa itu sendiri dalam melindungi bangunan suci, dalam hal ini Biaro Tandihat II.

Kepustakaan

Bakker S.J., W.M, 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Jogjakarta: Seri Risalah Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah Djurusan Sedjarah Budaja IKIP Sanata Dharma.

http://www.khandro.net/animal_lion.htm

http//sanskrit.gde.to/: 214

http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_081.shtml

Kempers, Bernet, A. J, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Kozok, Uli, 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Naskah Melayu Yang tertua. Jakarta: Yayasan Naskah Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Kusen, 1983. Catatan Singkat Mengenai Cincin Bertulisan Śramāna, dalam Berkala Arkeologi IV (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 9–15

Manik, Tindi Radja, 2002. Kamus Pakpak Indonesia. Medan: Bina Media.

Miksic, John, 1996. Borobudur Golden Tales Of The Buddhas. Jakarta : Periplus Editions.

Sarjianto, 1997-1998. Beberapa Asumsi Tentang Arca Singa Kompleks Makam Paijo, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, dalam Amerta, Berkala Arkeologi 18. Jakarta : Proyek Penelitian Arkeologi, hal. 15–28

Schnitger, F.M, 1936. Oudheidkundige Vondstenn In Padang Lawas. Leiden: E. J. Brill.

Setianingsih, Rita Margaretha & Sri Hartini, 2002. Prasasti Koleksi Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. Medan: Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.

Setianingsih, Rita Margaretha, dkk, 2003. Prasasti & Bentuk Pertulisan Lain di Wilayah Kerja Balai Arkeologi medan, dalam Berita Penelitian Arkeologi. No. 10. Medan: Balai Arkeologi Medan, Kementerian Kebudayaan & Pariwisata.

Suhadi, Machi, 1989. Mantra Buddha di Negara Asean,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V (Yogyakarta, 4-7 Juli 1989). Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 103–132

Suleiman, Setyawati, 1985. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Amerta 2.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 23–28

Susanto, RM, 1998/1999. Beberapa Bentuk Penjaga Candi, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No III. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 15–28

Susetyo, Sukawati, dkk, 2002. Laporan Penelitian Permukiman Kuna Kompleks Percandian Padang Lawas Di Tepian Daerah Aliran Sungai Sirumambe. Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian & Pengembangan Budaya. Pusat Penelitian Arkeologi.

Tim Peneliti, 1995-1996. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Ekskavasi Candi Bara, Padang Lawas, Kab. Tapsel Tahap I. Medan: Proyek Penelitian Purbakala Sumatera Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wojowasito, S, 1997. Kamus Kawi-Indonesia. Jakarta: CV. Pengarang.

Zoetmulder, PJ, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

;;