Kamis, 27 Agustus 2009

LATAR BELAKANG PENULISAN PRASASTI TANDIHAT 2 PADA PAHA KIRI DEPAN ARCA SINGA

churmatin nasoichah

Abstract

One of the Buddhist inscriptions which discovered in Sumatera is Tandihat II inscription. Between inscription it self with the lion statue as a medium, certainly have a special connection.

Kata Kunci: Prasasti, Buddha, Arca Singa

I. Pendahuluan

Prasasti merupakan bukti tertulis dari masa lampau yang berperan penting dalam penyusunan sejarah Indonesia kuna. Pembuatan prasasti berkaitan langsung dengan peristiwa tertentu. Selain itu terdapat beberapa hal yang tersurat maupun tersirat di dalam isi prasasti, antara lain agama, prosesi keagamaan, penetapan sīma, perdagangan, struktur birokrasi, kehidupan sosial politik, hukum, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa mayoritas informasi pada masa Hindu-Buddha didapat berdasarkan proses penyadapan yang dilakukan atas apa yang tertulis pada prasasti, sesuai dengan hakekat data tekstual. Hal ini dapat dipahami melalui telaah yang mendalam tentang isi prasasti.

Di lain pihak, media tempat prasasti tersebut dituliskan, juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Media yang dipakai suatu prasasti dapat pula menentukan makna yang terkandung dalam isi prasasti itu sendiri. Beberapa media yang sering digunakan dalam penulisan sebuah prasasti di antaranya berbahan batu yang biasa disebut prasasti batu (upala prasasti), berbahan tembaga atau disebut prasasti tembaga (tamra prasasti), berbahan lontar atau prasasti lontar (ripta prasasti), dan berbahan emas atau prasasti emas (mas prasasti). Apabila dilihat melalui bentuknya, media yang digunakan dalam penulisan prasasti bermacam-macam, antara lain berbentuk persegi, lempengan, batu alam utuh, arca,stupika serta lembaran. Secara eksternal, faktor keletakan juga turut menentukan makna prasasti. Dengan demikian, antara konteks keletakan, isi, dan media yang digunakan dalam penulisan prasasti saling berhubungan dan tidak dapat dipisah-pisahkan dalam suatu analisis prasasti.

Pada masa pengaruh Hindu-Buddha, arti penting prasasti tidak dapat disangsikan lagi dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Bahasa yang pada masa itu digunakan dalam penulisan prasasti antara lain bahasa Sansekerta, serta bahasa-bahasa yang merupakan rumpun bahasa Austronesia diantaranya Bahasa Jawa Kuna, Melayu Kuna, Batak Kuna, Bali Kuna, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini, banyak prasasti ditemukan di Pulau Bali, Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Salah satu prasasti yang ditemukan di Sumatera adalah Prasasti Tandihat II.

Prasasti Tandihat II ditemukan di Biaro Tandihat II, Desa Tandihat, Kecamatan Barumun Tengah, Tapanuli Selatan. Saat ini, prasasti tersebut disimpan di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara. Prasasti Tandihat II dipahatkan pada batu arca singa, tepatnya pada paha kiri depan arca singa tersebut. Prasasti ini tergolong prasasti pendek yang terdiri dari tiga kata dan ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuna. Ketiga suku kata tersebut berbunyi budha i swakarmma (Setianingsih,2003:8–9). Sampai saat ini belum diketahui hubungan antara ketiga kata tersebut dengan arca singa yang menjadi media penulisan prasasti. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan pada umumnya membahas tentang isi prasasti Tandihat II yang dikaitkan dengan perkembangan sekte Vajrayana pada masa itu. Pada kesempatan ini akan dibahas tentang hubungan antara prasasti Tandihat II dengan arca singa yang menjadi media penulisan prasasti yang kemudian dikaitkan dengan konsep arsitektural dalam pembangunan sebuah bangunan suci.

II. Deskripsi Prasasti Tandihat II

Prasasti Tandihat II ditemukan satu konteks dengan Biaro Tandihat II, tetapi patut disayangkan bahwa arca singa tersebut ditemukan tidak in situ lagi. Biaro Tandihat II yang terletak di Situs Padang Lawas ini berupa runtuhan bangunan yang tertimbun tanah. Survei pada tahun 1994 di daerah aliran sungai Barumun dan Pane serta ekskavasi di situs Tandihat II, berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan. Bangunan Biaro Tandihat II ini menghadap ke arah timur dengan tangga naik dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batu pasir ditemukan juga di antara runtuhan bangunan tersebut (Tim penelitian Arkeologi,1995:47–48).


 

Seperti yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan, Prasasti Tandihat II tergolong prasasti pendek yang terdiri dari tiga kata yang berbunyi buddha i swakarmma yang diterjemahkan dengan ‘buddha dengan sebab akibat sendiri untuk penderitaan dan kebahagiaan’. Prasasti ini ditulis menggunakan aksara Jawa Kuna dan berbahasa Jawa Kuna (Setianingsih dkk.,2003:8–9). Ketiga kata dalam prasasti ditempatkan secara horisontal pada paha kiri depan arca singa yang berdiri vertikal. Tidak terdapat angka tahun, nama seseorang yang menerbitkan prasasti (nama raja / penguasa wilayah) ataupun yang menuliskan prasasti (citralekha). Apabila dilihat dari paleografi aksara yang digunakan, kemungkinan prasasti ini berasal dari abad XII-XIV (Setianingsih,2003:8).

Prasasti Tandihat II dipahat dengan cukup baik, dalam arti, mempunyai kedalaman goresan yang cukup sehingga setiap aksara yang terpahat pada permukaan bidang pahat dapat diidentifikasi dengan mudah. Aksara-aksara yang terpahat dituliskan tidak terlalu besar tetapi dapat terbaca dengan mudah yaitu dengan panjang keseluruhan deretan aksaranya 9 cm dan masing-masing aksara memiliki ukuran 1 x 1,5 cm.

Arca singa, tempat pertulisan tersebut dipahatkan saat ini dalam kondisi rusak. Kepala arca telah hilang, hanya menyisakan lapik arca, badan beserta keempat kakinya. Arca singa ini secara keseluruhan berukuran 46 x 40 cm. Bagian lapiknya berdenah bujur sangkar dengan sisi-sisi 28 x 28 cm dan tinggi 10 cm. Di bagian atas lapik terdapat lapik bermotif sulur dengan diameter 28 cm dan tinggi 6 cm. Sedangkan bagian arca singa itu sendiri memiliki tinggi 30 cm dengan panjang 40 cm dan lebar 23 cm. Singa dalam hal ini digambarkan dalam posisi duduk, kedua kaki belakangnya dilipat, sementara kaki depan tegak. Bagian belakang tubuh singa telah aus dan tidak terdapat adanya indikasi penggambaran ekor. Singa tersebut digambarkan bertubuh gempal dengan perut buncit.

Arca singa duduk di atas lapik berbentuk persegi yang telah aus bagian tepiannya. Surai digambarkan lebat, panjangnya sampai ke pangkal paha kaki depan. Keempat pergelangan kaki singa memakai nupura (gelang kaki) yang berbentuk lingkaran tebal, polos dan berjumlah satu lapis. Di bawah arca singa tersebut, tepatnya di antara kedua kaki depan, terdapat pahatan berbentuk singa dalam ukuran yang lebih kecil dengan tinggi 12 cm dan lebar 9 cm. Arca singa yang berukuran kecil tersebut digambarkan dalam posisi duduk dengan kaki belakang terlipat. Kaki kiri depan menopang berat badan, dijulurkan lurus ke bawah, sedangkan kaki kanannya diangkat ke atas dengan telapak kaki setinggi mata. Arca ini cenderung lebih utuh apabila dibandingkan dengan arca singa yang pertama. Kepala arca digambarkan detil, lengkap dengan mata, hidung, mulut, telinga, dan surai/ rambut. Mata singa digambarkan bulat melotot dengan kening ditonjolkan. Telinga berbentuk segitiga sama kaki, tegak meruncing ke atas. Mulut singa menganga lebar lengkap dengan deretan gigi dan taring yang menonjol. Surai singa digambarkan lebat, dengan tubuh gempal. Telapak kaki dan sebagian lengan depan arca singa tersebut telah aus sehingga sulit diidentifikasi adanya hiasan atau semacamnya. Secara keseluruhan, arca singa yang berukuran lebih kecil duduk di atas lapik yang sama dengan arca singa yang berukuran lebih besar.

III. Telaah isi Prasasti Tandihat II

Pengaruh adanya Hindu-Buddha di Nusantara salah satunya terlihat dengan adanya prasasti-prasasti yang beraksara Palawa. Namun dalam perkembangannya, aksara Palawa ini mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan tempat dimana aksara tersebut berkembang sehingga perkembangan aksara ini dapat dikatakan sebagai aksara pasca-Palawa. Aksara pasca-Palawa yang merupakan aksara turunan dari aksara Palawa, berasal dari India Selatan, dan digunakan di berbagai tempat di Nusantara. Dari zaman ke zaman aksara Palawa berubah bentuknya sehingga menjadi aksara Nusantara yang pertama yang antara lain digunakan dalam prasasti-prasasti Sriwijaya yang kebanyakan berasal dari abad ke-7. Karena jumlah prasasti di Sumatera dan juga di kawasan berbahasa melayu sangat sedikit, maka tidak jelas bagaimana sejarah perkembangan aksara Sumatera di antara zaman Sriwijaya sampai pada masa Adityawarman di abad ke-14. Secara paralel aksara pasca-Palawa juga berkembang di Jawa, Sunda, Madura dan Bali sehingga pada abad ke-14 terdapat berbagai ragam aksara pasca-Palawa, yang antara lain mencakup aksara yang digunakan di Majapahit (Jawa), Pajajaran (Sunda), dan di dalam kerajaan Melayu di zaman Adityawarman (Uli Kozok,2006:67–68).

Aksara yang digunakan dalam penulisan Prasasti Tandihat II juga merupakan aksara pasca-Palawa dan karena prasasti ini ditemukan di Sumatera bisa dikatakan prasasti Tandihat II menggunakan aksara Melayu Kuno. Namun ada pula yang mengatakan bahwa prasasti ini menggunakan aksara Jawa Kuno karena bentuk aksaranya yang sama dengan bentuk aksara Jawa Kuno. Menurut De Casparis, terdapat kemungkinan bahwa aksara Jawa Kuno sebetulnya berasal dari Sumatera, karena sebagian besar prasasti-prasasti yang tertua ditemukan di Sumatera. Oleh karena itu, dan karena kaitan antara aksara Jawa Kuno dengan aksara Sumatera Lama belum diketahui dengan sempurna, maka De Casparis (1975:57) memilih istilah aksara Melayu, yang khususnya ia gunakan untuk aksara pasca-Palawa yang terdapat di prasasti-prasasti Adityawarman (Uli Kozok,2006:47).

Mengenai pemakaian bahasa, dalam pembahasan Prasasti Tandihat II ini perlu adanya pemilahan pada tiap katanya. Satu kalimat buddha i swakarmma yang terbaca dari Prasasti Tandihat II dapat diuraikan menjadi tiga kata. Kata buddhadalam prasasti tersebut dapat menunjuk pada nama diri seseorang, nama gelar, ataupun menunjuk pada ajaran agama Buddha itu sendiri yang merupakan kata serapan dari Bahasa Sansekerta. Satu hal yang cukup jelas, kata buddhamemberikan sebuah petunjuk bahwa terdapat pengaruh agama Buddha dalam penulisan prasasti tersebut ataupun pada Biaro Tandihat II itu sendiri. FDK. Bosch dalam tulisannya menyebutkan bahwa masyarakat pendukung biaro di Situs Padang Lawas adalah pemeluk agama Buddha aliran vajrayana yaitu salah satu bentuk sinkretisme agama Buddha dan Hindu, namun unsur agama Buddha lebih dominan dari pada agama Hindu (Schitger,1936). Pendapat ini didasarkan pada temuan artefak berupa arca dan relief pada Biaro Bahal I yang menggambarkan wajah-wajah raksasa yang menyeramkan serta prasasti-prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra tantris (Bosch,1930, dalam Suleiman,1985). Selain itu, Schnitger juga berpendapat bahwa di Padang Lawas terdapat tiga kelompok candi yang mempunyai sifat Buddha Tantrayana, yaitu Candi Sisangkilon, Sijoreng Belangah (Tandihat I & II) serta Candi Sipamutung (Schnitger,1936).

Adapun kata i dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna merupakan kata depan (preposisi) yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi di, didalam, dengan, ke, kepada, oleh, dari, sampai, tentang, terhadap dan sebagainya (Kamus Kawi-Indonesia,1997:109). Selain Bahasa Jawa Kuno, kata i juga dijumpai dalam Bahasa Pakpak yang diartikan; itu, di, dalam (Kamus Pakpak Indonesia,2002:145).

Di dalam Bahasa Jawa Kuna kata Svakarmma dapat diuraikan menjadi dua buah kata yaitu kata sva atau swa dankarmma. Kata sva atau swa berarti milik sendiri atau sendiri (Kamus Kawi-Indonesia,1997:255). Menurut Zoetmulder,karmma atau karma berarti tindakan, pekerjaan, perbutan (baik atau buruk) yang mengakibatkan hasil yang tidak dapat dielakkan pada masa dulu; juga buah itu sendiri; (dulu kata majemuk) segala tindakan atau ritus religi (upacara, korban, pesta) (Zoetmulder,1995:465). Apabila kata sva dan karmma ini digabungkan menjadi svakarmma maka berarti karyanya (sendiri), kondisi yang disebabkan perbutan-perbuatannya (pada masa lalu) (Zoetmulder,1995:1167). Adapun dalam Bahasa Sansekerta, menurut Online Sanskrit Dictionary (http//sanskrit.gde.to/:214) kata svakarma berarti di dalam tugasnya sendiri. Kata svakarmma dalam Bahasa Jawa Kuna merupakan adopsi dari bahasa Sansekerta. Oleh sebab itu, arti kata svakarmma dalam Bahasa Sansekerta serta dua kata sva dan karmma dalam Bahasa Jawa Kuna tidak terdapat perbedaan makna yang begitu signifikan.

Dalam ajaran agama Buddha dikenal adanya pandangan yang benar tentang karma yaitu semua makhluk memiliki karmanya sendiri; Semua makhluk adalah ahli waris dari karmanya sendiri; Semua makhluk lahir dari karmanya sendiri; Semua makhluk adalah keluarga dari karmanya sendiri; Semua makhluk ditopang oleh karmanya sendiri karma apa saja yang dibuatnya, yang baik atau buruk, terhadap itu ia akan menjadi ahli warisnya. (http://www.walubi.or.id /wacana/wacana_081.shtml).

Dari keterangan diatas, dapat dikatakan bahwa bahasa yang digunakan dalam penulisan prasasti Tandihat II adalah berbahasa Austronesia yaitu bahasa-bahasa yang digunakan di Nusantara dan apabila dikaitkan dengan letak prasasti tersebut ditemukan, maka dapat juga dikatakan bahwa prasasti Tandihat II berbahasa Melayu Kuno. Meskipun kataBuddha dan svakarmma merupakan kata serapan dari Bahasa Sansekerta, namun dengan adanya kata i yang merupakan preposisi dari kalimat prasasti tersebut, dan dalam Bahasa Sansekerta tidak dijumpai adanya pola pemakaian kata i, maka jelas bahwa kalimat prasasti Tandihat II tidak berbahasa Sansekerta. Berdasarkan uraian di atas, secara keseluruhan kata buddha i svakarmma yang terpahat Pada Prasasti Tandihat II, dapat diartikan sebagaiBuddha dengan perbuatan (karma) nya sendiri.

IV. Kaitan antara penempatan prasasti dengan arca singa

Pada umumnya sebuah prasasti batu yang didirikan dan berkaitan dengan bangunan suci berisi tentang peringatan peresmian pembangunan bangunan suci, batas-batas keletakan beserta aspek-aspek sosial bangunan suci yang ditetapkan sebagai tanah sima, nama bangunan suci, tujuan didirikan beserta raja yang mendirikannya, susunan bangunan-bangunan yang terdapat dalam kompleks bangunan suci, latar belakang keagamaan, tanggal didirikannya bangunan suci, dan berbagai hal yang berhubungan langsung dengan bangunan suci tersebut.

Sebagai prasasti yang memuat segala informasi yang berkaitan dengan bangunan suci, biasanya diletakkan di sekitar bangunan suci tersebut, di tempat-tempat yang mudah terlihat, karena prasasti tersebut ditujukan sebagai tanda peringatan oleh para pengguna bangunan suci. Aksara-aksara dan penempatan aksara pada bidang pahat prasasti juga harus mudah terlihat dan jelas. Berbeda dengan Prasasti Tandihat II. Apabila dilihat dari sudut pandang komunikasi media, aksara-aksara dan bidang pahat prasasti tidak begitu menguntungkan dan memungkinkan untuk digunakan sebagai prasasti yang bersifat informatif dan ditujukan untuk khalayak. Selain itu, isi dari prasasti ini juga juga tidak secara langsung menunjuk atau menyebut tentang hubungannya dengan bangunan suci. Isi prasasti memang dapat dihubungkan dengan konsep kepercayaan suatu bangunan suci, tetapi tidak secara langsung berhubungan dengan bangunan suci. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Prasasti Tandihat II memang tidak ditujukan untuk kepentingan yang bersifat informatif, tetapi mempunyai tujuan lain yang tentunya berkaitan dengan arca singa, tempat prasasti tersebut digoreskan.

Pada masa lalu pemujaan terhadap binatang merupakan gejala budaya yang bersifat universal. Salah satu binatang yang memiliki peranan penting dalam tradisi kebudayaan adalah singa. Pada masa Hindu-Buddha penggambaran singa banyak dikaitkan dengan kepercayaan adanya reinkarnasi. Selain itu motif singa juga terkait dengan simbol kepemimpinan, penguasa, dan kekuasaan. Sampai sekarangpun singa masih digunakan dan diletakkan pada pintu masuk dalam beberapa tempat peribadatan etnis cina misalnya seperti klenteng atau wihara serta makam-makam Cina.

Pada umumnya arca singa pada bangunan-bangunan candi dijadikan sebagai tokoh penjaga yang diletakkan di samping kanan/kiri pintu masuk ruang candi dalam posisi duduk dengan sepasang kaki depannya tegak mendukung beban berat badan (R.M. Susanto,1998/1999:20). Arca singa digambarkan dengan mulut menyeringai, menampakkan gigi dan taringnya, mata melotot, rambut surai sampai ke tengkuk dan leher, serta ekor terletak di atas punggung (R.M. Susanto,1998/1999:23).

Dalam sebuah bangunan candi, baik candi yang bersifat Hinduistis maupun Buddhis terdapat dua komponen arca diataranya arca inti dan arca penjaga. Komponen arca inti pada sebuah candi biasanya berupa arca-arca dewa yang diletakkan di dalam bilik (Madhya ćala), misalnya arca Siva pada salah satu kompleks candi Prambanan dan arcaVairocana pada Candi Mendut. Sedangkan arca penjaga biasanya berfungsi sebagai penjaga keselamatan dan penolak bala, sehingga para pemuja dalam melakukan upacara (ibadah) dapat merasa nyaman dan tidak mendapat gangguan. Tokoh-tokoh penjaga ini dalam peletakannya sebagian berdiri sendiri tetapi ada juga yang menjadi bagian dari bangunan candi tersebut. Tokoh-tokoh penjaga ini antara lain dalam bentuk relief yang dipahatkan pada ambang pintu (doorpel) maupun sepasang tokoh yang diletakkan di depan kanan/kiri pintu masuk. Selain itu, sering ditemukan pula sepasang tokoh penjaga yang diletakkan di kanan/kiri sisi dalam pagar pintu masuk area candi (R.M. Susanto,1998/1999:17). Adapun tokoh-tokoh penjaga ini biasanya berupa arca singa, Kala-makara, dvarapala, atau mahakala-nandisvara.

Meskipun tidak jelas keletakan arca singa terhadap biaro, dari uraian di atas bisa ditarik sebuah benang merah bahwa arca singa ini berfungsi sebagai penjaga bangunan suci yang diletakkan di depan biaro atau di depan pintu masuk halaman bangunan tersebut. Selain sebagai penjaga sebuah bangunan suci, arca singa dalam agama Buddha juga memiliki peranan yang penting. Sidharta Gautama sebelum menjadi Buddha, sering disebut sebagai ‘Singa dari keluarga Sakya’ (Sakya Simha) sehingga ‘auman Singa’ merupakan kiasan dari doktrin agama Buddha itu sendiri (http://www.khandro.net /animal_lion.htm).

V. Penutup

Melalui uraian di atas, walaupun Prasasti Tandihat II ditemukan sudah tidak dalam konteksnya semula, tapi dilihat dari media yang digunakan dalam penulisan prasasti, yaitu arca singa dapat ditarik benang merah bahwa pada umumnya keletakan arca singa berada pada pintu gerbang sebuah bangunan suci dan berfungsi sebagai penjaga bangunan suci tersebut. Kemudian dilihat dari isi prasasti yang tidak berhubungan secara langsung dengan keletakan atau pendirian suatu bangunan suci, tetapi lebih kepada sebuah pernyataan atau harapan untuk tujuan tertentu, maka dapat diinterpretasikan bahwa isi prasasti tersebut tidak ditujukan untuk khalayak. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa khalayak dilarang membaca prasasti tersebut, karena prasasti tersebut ditulis dengan menggunakan aksara Melayu Kuno yang merupakan rumpun aksara pasca-Palawa dan bahasa Melayu Kuno yang merupakan rumpun bahasa Austronesia, dan merupakan bahasa sehari-hari pada saat itu, bukan bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa kaum brahmana. Dalam hal ini prasasti tersebut bukan merupakan prasasti yang bersifat rahasia seperti mantra dan yantra.

Bekaitan dengan arca singa sebagai penjaga bangunan suci dan peran pentingnya dalam agama Buddha, serta isi prasasti yang berbunyi buddha i swakarmma yang berarti Buddha dengan perbuatan (karma) nya sendiri, disimpulkan bahwa prasasti Tandihat II merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai suatu maksud yaitu selain untuk penyiaran agama Buddha, juga untuk menambah kekuatan pada arca singa itu sendiri dalam melindungi bangunan suci, dalam hal ini Biaro Tandihat II.

Kepustakaan

Bakker S.J., W.M, 1972. Ilmu Prasasti Indonesia. Jogjakarta: Seri Risalah Pengantar Pengadjaran dan Peladjaran Sedjarah Djurusan Sedjarah Budaja IKIP Sanata Dharma.

http://www.khandro.net/animal_lion.htm

http//sanskrit.gde.to/: 214

http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_081.shtml

Kempers, Bernet, A. J, 1959. Ancient Indonesian Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.

Kozok, Uli, 2006. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah. Naskah Melayu Yang tertua. Jakarta: Yayasan Naskah Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Kusen, 1983. Catatan Singkat Mengenai Cincin Bertulisan Śramāna, dalam Berkala Arkeologi IV (2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta, hal. 9–15

Manik, Tindi Radja, 2002. Kamus Pakpak Indonesia. Medan: Bina Media.

Miksic, John, 1996. Borobudur Golden Tales Of The Buddhas. Jakarta : Periplus Editions.

Sarjianto, 1997-1998. Beberapa Asumsi Tentang Arca Singa Kompleks Makam Paijo, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, dalam Amerta, Berkala Arkeologi 18. Jakarta : Proyek Penelitian Arkeologi, hal. 15–28

Schnitger, F.M, 1936. Oudheidkundige Vondstenn In Padang Lawas. Leiden: E. J. Brill.

Setianingsih, Rita Margaretha & Sri Hartini, 2002. Prasasti Koleksi Museum Negeri Propinsi Sumatera Utara. Medan: Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.

Setianingsih, Rita Margaretha, dkk, 2003. Prasasti & Bentuk Pertulisan Lain di Wilayah Kerja Balai Arkeologi medan, dalam Berita Penelitian Arkeologi. No. 10. Medan: Balai Arkeologi Medan, Kementerian Kebudayaan & Pariwisata.

Suhadi, Machi, 1989. Mantra Buddha di Negara Asean,
dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V (Yogyakarta, 4-7 Juli 1989). Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hal. 103–132

Suleiman, Setyawati, 1985. Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Amerta 2.Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 23–28

Susanto, RM, 1998/1999. Beberapa Bentuk Penjaga Candi, dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No III. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal. 15–28

Susetyo, Sukawati, dkk, 2002. Laporan Penelitian Permukiman Kuna Kompleks Percandian Padang Lawas Di Tepian Daerah Aliran Sungai Sirumambe. Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan & Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian & Pengembangan Budaya. Pusat Penelitian Arkeologi.

Tim Peneliti, 1995-1996. Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Ekskavasi Candi Bara, Padang Lawas, Kab. Tapsel Tahap I. Medan: Proyek Penelitian Purbakala Sumatera Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wojowasito, S, 1997. Kamus Kawi-Indonesia. Jakarta: CV. Pengarang.

Zoetmulder, PJ, 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

0 komentar:

Posting Komentar